HUKUM
MENGGUNAKAN PIL PENUNDA HAID
Masalah
penggunaan pil penunda haid bagi wanita muslimah yang ingin
menyempurnakan ibadahnya baik itu puasa ramadhan maupun haji, maka
sebelumnya perlu diingat bahwa para ulama sepakat, wanita muslimah yang
kedatangan haid pada bulan ramadhan yang penuh berkah itu tidak wajib
puasa. Artinya tidak wajib berpuasa pada bulan itu dan wajib
mengqodho’nya pada bulan yang lain.Hal ini merupakan kemurahan dari
Allah Subhanahu Wata'ala dan rahmatnya kepada wanita yang sedang haid,
karena pada waktu itu kondisi badan seorang wanita sedang lelah dan
urat-uratnya lemah. Dalam hal ini syekh al-Qordhowi berkata, ”lebih
afdhol jika segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat
dan fitronya. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu Wata'ala mewajibkan
berbuka bagi muslimah yang sedang haid dan bukan sekedar membolehkan
untuk berbuka. Apabila ia berpuasa, maka puasanya tidak akan diterima
bahkan berdosa. Dia wajib mengqodho’nya pada hari-hari lain sebanyak
hari-hari ia tidak berpuasa.
Hal
ini sudah dilakukan para muslimah sejak jaman Ummahatul Mu’minin dan
para sahabat wanita serta para muslimah yang mengikuti jejak mereka
dengan baik. Kalau demikian, tidak ada halangan bagi wanita muslimah
untuk berbuka puasa apabila siklus menstruasinya (haid) itu datang pada
bulan ramadhan, tetapi ia wajib mengqodho’nya setelahnya sebagaimana
diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata,” Kami diperintahkan mengqodho’
puasa dan tidak diperintahkan mengqodho’ sholat.” (HR Bukhori)
Namun
demikian, jika ada wanita Muslimah menggunakan pil untuk mengatur atau
menunda waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan
ramadhan maupun ibadah haji, maka hal ini tidak dilarang dengan syarat
pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan dirinya
dan dapat dipertanggungjawabkan keamanannya sehingga tidak menimbulkan
mudhorot baginya. Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus
dikonsultasikan dulu dengan ahli obstetric (dokter ahli
kandungan). Sehingga hal itu tidak mempengaruhi system kehamilan.
Apabila dokter menyatakan bahwa penggunaan pil tersebut tidak
membahayakan dirinya, maka ia boleh menggunakannya. Dan puasa yang
dilakukannya dengan mengundurkan masa haid dari masa kebiasaannya tetap
sah dan diterima (maqbul) insya Allah apabila memenuhi syarat dan rukun
lainnya dengan meninggalkan segala pantangannya.Akan tetapi jika hal itu
memiliki pengaruh negative bagi kesehatannya maka dilarang[1]
Diriwayatkan
dari imam Ahmad r.a sesungguhnya ia berkata, ”Tidaklah mengapa seorang
wanita muslimah menggunakan pil penunda haid, apabila pil itu sudah
diketahui keamanannya”.[2]
Praktik
dilapangan sering terjadi, mereka yang menggunakan pil penunda haid,
masih saja datang bulan. Bagaimana menghadapi masalah demikian? Dalam
hal ini, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama,
jumhur ulama berpendapat bahwa wanita tersebut harus menunggu sampai ia
suci darinya, kemudian ia thawaf ifadhah (rukun). Apabila rombongan
wanita tersebut akan pulang ke negerinya, sedangkan wanita ini belum
juga suci dan ia takut terpisah dari rombongannya, maka ia boleh pulang
dan kembali pada suatu waktu dalam keadaan suci, untuk melaksanakan
thawaf ifadloh tersebut. Alasan mereka adalah adanya hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah r.a Rasulullah
Shollallohu'AlaihiWasallam bersabda, “Jika engkau haid, maka
lakukanlah amalan-amalan haji, tetapi jangan engkau thawaf di Baitullah
(ka’bah) sampai engkau suci”Dalam hadits lainNabi mnyatakan bahwa:
“Thowaf adalah sholat, hanya saja Allah memperkenankan dikalah thawaf
berbicara. Barang siapa yang akan berbicara berbicaralah yang baik-baik
saja”.(HR. at-Turmudzi dari ibnu Abbas).
Kedua, ulama Hanafi
berpendapat : bahwa wanita yang datang bulan tersebut, jika khawatir
ditinggal oleh rombongannya, maka maka ia boleh melakukan thawaf ifadloh
(setelah ia mandi besar), tetapi ia harus membayar dam seekor unta,
atau seekor sapi. Alasan mereka bahwa wanita tersebut mempunyai udzur
yang sulit untuk dihindari.
Disamping
itu juga ia pulang kenegerinya, sulit untuk kembali hanya untuk
melakuan thawaf. Dalam kaidah hukum islam dikatakan, ”Jika persoalan itu
sulit, maka agama memberikan kelapangan (kemudahan).
Ketiga,
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim dari ulama Hambali berpendapat, “ bahwa
wanita itu boleh melakukan thawaf ifadlah, jika sampai waktu
keberangkatan rombongan belum juga suci, dengan syarat ia harus mandi
besar terlebih dahulu, kemudian ia membalut tempat keluarnya
darah agar tidak mengotori masjid dan wanita terebut tidak perlu
membayar dam(denda), karena situasi dan kondisi wanita itu tidak ada pilihan lain yang lebih ringan untuk melaksanakan thawaf.
Dalam surat At-Tagobun ayat 16 Allah berirman, “Maka bertaqwalah kamu kepada allah menurut kesanggupanmu”. Dan ayat 42 surat Al A’rof menyatakan,
“Dan Orang –orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, kami
tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar
kesangupan, mereka itulah penghini –penghuni surga mereka kekal
didalamnya.”
Jadi
kesimpulannya minum pil penunda haid, bagi wanita muslimah untuk
kelancaran suatu amal ibadah hukumnya boleh. Jika masih juga datang
bulan pada waktu pelaksanaan ibadah haji, ada pendapat ulama yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan segera mandi besar dan balut tempat
keluarnya darah, setelah itu lakukan thowaf dan thawaf dinyatakan sah.
Selamat menunaikan ibadah puasa dan haji , semoga menjadi haji mabrur. Amin……