Powered By Blogger

Sabtu, 18 Februari 2012

IKE NURKHASANAH
KELAS B

HADITS I
LEMBAGA PENDIDIKAN RUMAH TANGGA
“Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang”


A.    PENDAHULUAN
Pendidikan dalam rumah tangga atau disebut juga pendidikan keluarga dapat dikatakan sebagai tempat pendidikan pertama sebelum seorang anak masuk dalam pendidikan formal/ sekolah. Karena sebelum masuk ke sekolah formal, anak akan lebih banyak berinteraksi dengan anggota keluarga, baik ayah, ibu, maupun anggota keluarga lainnya.
Pendidikan keluarga menjadi penting karena turut memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan karakter anak. Biasanya anak yang terlahir di dalam keluarga yang baik akan mandapat teladan dan pedoman yang baik pula dalam lingkungan keluarganya. Sebaliknya, jika anak lahir dan hidup pada keluarga yang kondisinya kurang baik juga akan turut berpengaruh terhadap perkembangan karakternya. Adapun hasilnya dapat terlihat ketika suatu saat ia harus terjun dalam pergaulan dimasyarakat. Bagaimana sikap dan perbuaatannya, bagaimana ia bergaul, bagaimana ia menyelesaikan persoalan – persoalan yang dihadapinya, dsb.
Dan ternyata berabad lalu hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dalam kehidupan rumah tangganya. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad tentang rumah tangga penuh kasih sayang berikut.
B.       TEKS HADITS
قاَلَ اَبُوْ عَبْدِ اللهِ ا لْجَدَ لِي قُلْتُ لِعَا ئِشَةً كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهِ عَلَيْهِ وسَلّمَ فِيْ اَهْلِهِ قَا لَتْ :  كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا لَمْ يَكُنْ فَا حِشًا وَلاَ مُتَفَاَحِشًا وَلَا سَخَفًا بِالْاَسْوَاقِ وَلَا يُجْزي بِالسَّيِّئَةِ مِثَلَهَا وَلَكِنْ                                                يَعْفُوْوَيَصْفَحُ                                                                                                                                                                                                  (رواه حمد فى المسند, باقى مسند الانصار )                      

C.     TERJEMAH
Berkata Abu Abdillah al Jadali saya berkata kepada Aisyah bagaimana akhlak Rasulullah SAW pada keluarganya. Aisyah berkata :” sesungguhnya dia adalah sebaik – baik akhlak manusia. Dia tidak pernah berbuat keji dan tidak pernah berkata keji, Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu dipasar dan tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan yang sama dan akan tetapi memaafkan dan melapangkan urusan/ memudahkan. (HR. Ahmad pada musnad Baqi dan musnad al Anshori ).


D.    MUFRODAT
Arti
Teks
Berkata Abu Abdillah al Jadali
قاَلَ اَبُوْ عَبْدِ اللهِ ا لْجَدَ لِي
saya berkata kepada Aisyah bagaimana akhlak Rasulullah SAW pada keluarganya, Aisyah berkata :
قُلْتُ لِعَا ئِشَةً كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهِ عَلَيْهِ وسَلّمَ فِيْ اَهْلِهِ قَا لَتْ :           
sesungguhnya dia adalah sebaik – baik akhlak manusia
كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
Dia tidak pernah berbuat keji dan tidak pernah berkata keji
لَمْ يَكُنْ فَا حِشًا وَلاَ مُتَفَاَحِشًا
Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu dipasar
وَلَا سَخَفًا بِالْاَسْوَاقِ
dan tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan yang sama
وَلَا يُجْزي بِالسَّيِّئَةِ مِثَلَهَا
dan akan tetapi memaafkan dan melapangkan urusan/ memudahkan
وَلَكِنْ يَعْفُوْوَيَصْفَحُ


E.     BIOGRAFI PERAWI
 Nama aslinya adalah 'Abdun ibn 'Abdun. Ada pula yang mengatakan nama aslinya adalah 'Abdurahman ibn 'Abdun. Dalam kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi berkata: "Ia Syi'ah ekstrim. Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat pilihan, dan Imam Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat.
Ibn Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini: "Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu'in bahwa Abu 'Abdullah adalah tsiqat. Ibn Hibban menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat. 'Ajli memandang dia sebagai seorang tabi'in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa'ad setelah menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha'if. Dikatakannya bahwa ia Syi'ah ekstrim.
Ulama hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn Abi 'Ubayd. Ia pernah dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr dengan kekuatan pasukan sejumlah 800 orang dari penduduk Kufah. Mereka datang untuk mencegah keinginan dan kehendak Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa'i berkata: "Aku mendengar Abu 'Abdullah al-Jadali adalah serdadu Mukhtar."
Ibn Hajar berkata: "Ibn Zubayr memanggil Muhammad al-Hanafiyyah untuk berbai'at kepadanya. Muhammad menolak ajakan bai'at itu, lalu ia ditahan atau dikurung di suatu tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya mengintimidasi Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di Kufah. Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju Makkah di bawah pimpinan Abu 'Abdullah al-Jadali."
Mereka berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari kurungannya. Muhammad mencegah satuan perang itu bertempur di kota suci Makkah. Dari sinilah, demikian Ibn Hajar, ulama hadits memvonis Abu 'Abdullah dan Abu ath-Thufay, yang ikut serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya tidaklah dipandang cacat lantaran perbuatannya itu.
Dari berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama tidak mengecam Abu 'Abdullah, kecuali paham Syi'ah yang dianutnya. Sebagian ulama yang memberikan kritik kepadanya menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu 'Abdullah menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa Syi'ah yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim, tidaklah merusak sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal jujur, amanah, dan tidak pernah berdusta.
Bila kita melihat latar-belakang kehidupan Abu 'Abdullah, nyatalah bahwa tak seorang pun ulama hadits yang menuduhnya sebagai pendusta. Karena itulah, Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu'in, Ibn Hibban dan al-'Ajli. Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya.
Hal di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni dalam menentukan keadilan dan tsiqatnya seorang perawi. Mereka berpegang pada firman Allah:
"Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu melakukan ketidakadilan. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih mendekati ketakwaan." (QS, al-Ma'idah, 5:8).
Mereka tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan secara serampangan, mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta. Seandainya mereka demikian, tentu Abu 'Abdullah sudah dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan haditsnya, lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi 'Ubayd.
Kejujuran ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan orang Rafidhah yang seringkali menggugurkan sifat adil seorang perawi. Bahkan mereka mengkafirkannya dengan alasan yang dibuat-buat; seperti termuat dalam beberapa referensi mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang lebih utama dibanding Abu 'Abdullah, yaitu Abu Bakar dan 'Umar, bahkan mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja dari mereka. Pengkafiran ini tidak lain hanya karena keyakinan para sahabat tersebut berbeda dengan keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini yang dinamakan fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah.
Ibn Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh kaum Rafidhah sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim dan tidak jujur. Beliau menolak semua tuduhan itu, dan menyatakan bahwa setiap orang yang berakal akan mengetahui kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan terbebasnya mereka dari sifat fanatik. Hal ini terlihat dari kata-kata Ibn Hajar: "… dari sini sebagian ulama hadits memvonis Abu 'Abdullah dan Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam satuan tempur itu. Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah membuat keduanya tercela, insya Allah."
Pernyataan Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena ia membela Abu 'Abdullah, dan menolak semua orang yang mendha'ifkan dia dari kalangan Ahlus Sunnah. Beliau juga menolak orang yang mengkultuskannya. Perhatikanlah.

F.      SYARAH HADITS
Terjemah kitab Faidhul Qhadir:
(كَا نَ اَحْسَنَ ) lafadz ini kalau pada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi berbunyi    (من احسن  ) (النَّاسِ خُلُقًا ) yaitu berkumpulnya kebaikan dan kehormatan yang terangkum didalamnya dan tidak berkumpul padanya kesempurnaan dan sifat – sifat mulia serta keindahan apa – apa yang tidak mengelilinginya.
            Allah SWT. Berfirman dalam al Qur’anNya: “ dia mensifatinya dengan keagungan dan menambahnya dengan pujian yang tinggi atas keagungan akhlak dan kemuliaan dan tidak ada manusia atau makhluk lain yang menyamainya,
Dan kesempurnaan akhlak sesungguhnya terdiri dari kesempurnaan akal karena dia yang terdapat padanya keutamaan – keutamaan dan, sebagaimana perkataaan penulis bahwasanya ini adalah hadits yang mengisahkan tentang kesempurnaan akhlaknya.. bahkan pada diri seorang miskin ada yang berpendapat seandainya datang waktu solat dan dia dirumah kami, maka dia akan menyuruh membersihkan yang dibawahnya. Maka diapun akan menyapunya kemudian membersihkannya kemudian Rasulullah SAW. Mengimami dan kamipun berdiri dibelakangnya. Maka kamipun solat bersamanya padahal sajadahnya terbuat dari pelepah kurma. Demikianlah sebagaimana dalam Shahih muslim. (faidah/..فاادة.) sebagaimana yang diriwayatkan oleh sanad abu Musa Muadlim).
Sebagaimana yang disandarkan Hudayah dari hamad, dari Tsabit dari Anas berkata: “ datang seorang utusan dari Yaman dan bersamanya seorang laki – laki berkatalah  Du’lah bin Ukilan  al Misali maka dia berhenti di hadapan Nabi SAW. Dan dia berkata Yaa Rasulullah, siapa sebaik – baik akhlak manusia dan sebaik – baik ciptaan. Rasulullah berkata “Saya ya Du’lan dan janganlah sombong”, maka diapun menyebut sebuah hadits lafadz seperti yang tadi diatas. (dari Hamad, Tsabit, Anas) pada sebagian riwayat Anas berkata sesungguhnya padaku seorang saudara maka Abu Umairpun berkata padanya: saya pikir dia adalah Fatimah, maka jika datang Rasulullah SAW. maka diapun melihatnya dan diapun berkata, Yaa Umair apa yang dikatakan Nafir, diapun berkata: sesungguhnya dia bermain – main dengannya. Demikianlah sebagaimana yang diriwayatkan oleh muslim dan didalamnya dia juga meriwayatkan siapa sebaik – baik akhlak manusia? Maka dia mengirimkan padaku sebuah jawaban dan diapun berkata: “ demi Allah tidaklah aku pergi dan tidaklah dia keluar sampai dia menyuruh anak kecil bermain dipasar, maka jika Rasulullah berjalan dari belakangku maka anak – anak itu akan melihat padanya dan diapun tertawa. Unais berkata, saya akan pergi jika kau menyuruh, dia berkata : ya, saya pergi
   (كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا artinya suatu gambaran atau sejarah.     
( واجورالناس) pada segala sesuatu yang bermanfaat. Hal ini mengandung arti peniadaan keumuman atau kebanyakan sifat manusia karena barang siapa yang menyempurnakan kemuliaan dan membersihkan hati dan melembutkan sifat dan menambahkan pujian. Semuanya adalah sarana untuk dekat dengaNya dan karena itu pula manusia pada umumnya tertolong dari kesusahan berkat kebaikan – kebaikannya dan karena itu pula dia tersifati oleh sifat – sifat Allah yang ada padanya.
( اسجؤالناس) artinya orang yang kuat hatinya dan orang yang baik dalam semua keadaan. Dan keberaniannya yang terlihat ketika dia dimedan peperangan dan apa yang terlihat pula diluar peperangan.
Dan tidaklah Ahmad berkata tentangnya dan sungguh terlihat keberaniannya itu secara terus menerus. Berkatalah seorang penulis bahkan sifat itu tergambar dalam ayat al Qur’an yaitu: “ hai Nabi, perangilah orang – orang kafir”. Arti ayat ini adalah Rasulullah SAW. Dibebani perintah sendirian untuk memerangi orang – orang kafir semuanya. Serta dalam salah satu ayat pula (tidaklah Allah membebani seseorang itu sesuai dengan kemampuannya ) ayat ini artinya) tidaklah menunjukkan  pada orang lain, tetapi Rasulullah sendirian. Tujuannya adalah bahwasanya itu untuk kepentingan bersama. Dan sungguh terkumpul pada Rasulullah itu 3 jenis sifat taqwa (akal) kemarahan dan syahwat dan sebaik – baik sifat itu adalah beliau, karena beliau mempunyai sifat yang baik. Dan kesempurnaan sifat beliau adalah pada diri beliau itu terkumpul kekuatan syahwat, marah, keberanian itu secara seimbang. Demikianlah perkataan At Thabi’i dari Annas bin Malik.[1]

G.    ASPEK TARBAWI
Dari berbagai uraian diatas dapat diambil beberapa aspek tarbawi terkait pendidikan dalam rumah tangga, yang mana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana keterangan dari istri beliau Aisyah ra. bahwa akhlak Rasulullah SAW. adalah sebaik – baik akhlak manusia. Begitupun dalam keluarganya, beliau tidak pernah berkata – kata maupun berbuat keji kepada anggota keluarganya, tidak mengangkat suara ketika berbicara , tidak pernah membalas sebuah kejelekan dengan kejelekan pula. Bahkan beliau justru melapangkan urusan sehingga dapat diselesaikan dengan cara yang baik. Dan kesempurnaan dari sifat beliau adalah pada diri beliau terkumpul kekuatan syahwat, marah dan keberanian secara seimbang. Berbeda dengan manusia biasa yang cenderung pada satu aspeknya saja. Itulah barangkali satu dari sedemikian banyak sikap yang beliau contohkan kepada istri dan keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga orang – orang yang berada satu rumah dengan beliau adalah orang – orang yang berakhlak mulia pula. Di dalam maupun diluar rumah.
Motivasi belajar dari luar diri anak terutama dari orang tuanya  sangat berperan untuk pencapaian prestasi seorang anak, karena orang tuanyalah yang mengatur dan mengetahui keberadaan seorang anak diluar sekolah dan setiap kebutuhan belajar anak dipenuhi oleh orang tuanya.
Orang tua dalam mendidik anak, khususnya di dalam rumah tangga sangatlah penting, karena di dalam rumah tangga seorang anak mula - mula memperoleh bimbingan dan pendidikan dari orang tuanya. Tugas orang tua adalah sebagai guru atau pendidik yang utama dan pertama di dalam rumah tangga dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan mental dan fisik anak.
Bagi orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anaknya, akan selalu memandang anak sebagai mahluk yang berakal yang sedang tumbuh dan bergairah serta selalu ingin menyelidiki dan selalu ingin mengetahui sesuatu yang ada disekelilingnya. Oleh karena itu orang tua merasa terpanggil untuk mendidik atau memberikan perhatian atau motivasi kepada anak-anaknya. Namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini sebagian orang tua lupa dan lalai karena tidak tahu bagaimana cara melaksanakan tugas yang amat penting itu. Banyak diantara orang tua yang beranggapan bahwa kalau anak-anak sudah diserahkan kepada guru di sekolah, maka selesailah tugas mereka dalam mendidik atau memberikan perhatian terhadap pendidikan anaknya.[2]
Hal – hal sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.  diataslah yang seharusnya ada pada setiap keluarga. Sehingga keluarga dapat menjadi sebuah tempat pendidikan awal yang baik bagi seorang anak, sebelum bergaul dimasyarakat. Masing – masing anggota keluarga harus bisa menjadi teladan yang baik bagi yang lainnya. Terutama seorang ayah dan ibu, yang merupakan orang – orang yang terdekat dengan anak dan menjadi tempat berkaca bagi seorang anak. Jika anggota keluarga mempunyai kebiasaan melakukan hal – hal yang tidak baik, maka bukan tidak mungkin anakpun akan ikut mencontoh untuk melakukan hal yang tidak baik pula. Karena ketidakbaikan itu telah diaanggapnya sebagai hal yang biasa. Begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu pendidikan keluarga menjadi sangat penting bagi seorang anak sebagai pembentuk karakter anak sejak dini serta sebagai pendidikan awal yang membekali anak tersebut untuk bergaul dengan orang – orang dilingkungannya. Tentunya dengan tauladan - tauladan yang baik dari setiap anggota keluarga. Sehingga ketika anak dewasa dan berbaur dilingkungannya yang diluar rumah, anak tidak akan mudah terseret pada pergaulan dan kebiasaan yang tidak baik.
Rosjidan (1996:3-4) mengemukakan bahwa terdapat delapan fungsi keluarga yaitu:
a)      Fungsi keagamaan
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana penanaman kaidah-kaidah ajaran  agama agar tercipta insan-insan pembangunan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)     Fungsi sosial budaya
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana persemaian  nilai-nilai luhur budaya masyarakat/bangsa yang mulia dan beradab.
c)      Fungsi cinta kasih
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pembinaan cinta kasih sayang serta jiwa kesetiakawanan antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan   masyarakat lingkungannya.
d)     Fungsi  perlindungan
Untuk mendorong sebagai wahana pembinaan untuk menciptakan rasa aman, damai, nyaman, dan tentram serta keadilan sebagai cerminan hidup yang sejahtera lahir batin.
e)      Fungsi reproduksi
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pelaksanaan kesadaran akan pentingnya peranan reproduksi sehat dalam upaya mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera.
f)       Fungsi sosialisasi
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan murid yang ekonomi, efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri dan kelurga.
g)     Fungsi ekonomi.
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pembentukan sikap  hidup yang ekonomi, efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarga[3].

H.    PENUTUP
Rumah seseorang ibarat cermin yang menggambarkan keluhuran akhlak, kesempurnaan budi pekerti, keelokan pergaulan dan ketulusan nuraninya. Tidak seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya di balik kamar dan dinding. Saat ia bersama hamba sahaya, pembantu atau bersama istrinya. Ia bebas berbuat tanpa sungkan dan berpura – pura. Sebab ia adalah raja yang memerintah dan melarang didalamnya
Rasulullah dengan kesempurnaan akhlaknya telah memberikan contoh bagaimana berlaku dalam keluarga. Yakni dengan tidak berkata maupun berbuat keji, tidak mengangkat suara ketika berbicara, tidak membalas kejelekan – dengan kejelekan yang sama serta saling memaafkan dan melapangkan urusan. Dan banyak lagi yang telah beliau contohkan yang terangkum dalam sunnah – sunnah beliau.
Rasulullah SAW. menjalani dan menghiasi kehidupan rumah tangganya dengan penuh kasih sayang, dengan tauladan yang baik dari akhlak mulia yang beliau miliki. Begitupun seharusnya yang ada pada semua keluarga yang ada didunia ini, menghiasi rumah tangganya dengan kasih sayang sehingga keluarga menjadi tempat pendidikan non formal yang baik dan anak merasa nyaman berada diantaranya.

I.       PUSTAKA
Al Munawi. Kitab Fidhul Qhadir. Juz 5.
Udangdanang.wordpress.com (Yodi Indrayadi, 2011/12/22.) Rabu, 15 Februari 2012
(Deni Arisandi)Rabu,  15 Februari 2012


[1] Al Munawi. Kitab Fidhul Qhadir. Juz 5. Hlm 95

[2] http://arisandi.com/peranan-keluarga-dalam-perkembangan-anak (Deni Arisandi, 16 Maret 2011) ,  rabu 15 Feebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar