IKE NURKHASANAH
KELAS B
HADITS I
LEMBAGA PENDIDIKAN RUMAH TANGGA
“Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang”
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
dalam rumah tangga atau disebut juga pendidikan keluarga dapat
dikatakan sebagai tempat pendidikan pertama sebelum seorang anak masuk
dalam pendidikan formal/ sekolah. Karena sebelum masuk ke sekolah
formal, anak akan lebih banyak berinteraksi dengan anggota keluarga,
baik ayah, ibu, maupun anggota keluarga lainnya.
Pendidikan
keluarga menjadi penting karena turut memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan karakter anak. Biasanya anak yang terlahir di
dalam keluarga yang baik akan mandapat teladan dan pedoman yang baik
pula dalam lingkungan keluarganya. Sebaliknya, jika anak lahir dan hidup
pada keluarga yang kondisinya kurang baik juga akan turut berpengaruh
terhadap perkembangan karakternya. Adapun hasilnya dapat terlihat ketika
suatu saat ia harus terjun dalam pergaulan dimasyarakat. Bagaimana
sikap dan perbuaatannya, bagaimana ia bergaul, bagaimana ia
menyelesaikan persoalan – persoalan yang dihadapinya, dsb.
Dan
ternyata berabad lalu hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
dalam kehidupan rumah tangganya. Diantaranya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad tentang rumah tangga penuh kasih sayang
berikut.
B. TEKS HADITS
قاَلَ
اَبُوْ عَبْدِ اللهِ ا لْجَدَ لِي قُلْتُ لِعَا ئِشَةً كَيْفَ كَانَ
خُلُقُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهِ عَلَيْهِ وسَلّمَ فِيْ اَهْلِهِ قَا
لَتْ : كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ
خُلُقًا لَمْ يَكُنْ فَا حِشًا وَلاَ مُتَفَاَحِشًا وَلَا سَخَفًا
بِالْاَسْوَاقِ وَلَا يُجْزي بِالسَّيِّئَةِ مِثَلَهَا وَلَكِنْ يَعْفُوْوَيَصْفَحُ
(رواه حمد فى المسند, باقى مسند الانصار )
|
C. TERJEMAH
Berkata
Abu Abdillah al Jadali saya berkata kepada Aisyah bagaimana akhlak
Rasulullah SAW pada keluarganya. Aisyah berkata :” sesungguhnya dia
adalah sebaik – baik akhlak manusia. Dia tidak pernah berbuat keji dan
tidak pernah berkata keji, Beliau tidak pernah mengangkat suara,
sekalipun itu dipasar dan tidak pernah membalas kejelekan dengan
kejelekan yang sama dan akan tetapi memaafkan dan melapangkan urusan/
memudahkan. (HR. Ahmad pada musnad Baqi dan musnad al Anshori ).
D. MUFRODAT
Arti
|
Teks
|
Berkata Abu Abdillah al Jadali
|
قاَلَ اَبُوْ عَبْدِ اللهِ ا لْجَدَ لِي
|
saya berkata kepada Aisyah bagaimana akhlak Rasulullah SAW pada keluarganya, Aisyah berkata :
|
قُلْتُ لِعَا ئِشَةً كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهِ عَلَيْهِ وسَلّمَ فِيْ اَهْلِهِ قَا لَتْ :
|
sesungguhnya dia adalah sebaik – baik akhlak manusia
|
كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
|
Dia tidak pernah berbuat keji dan tidak pernah berkata keji
|
لَمْ يَكُنْ فَا حِشًا وَلاَ مُتَفَاَحِشًا
|
Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu dipasar
|
وَلَا سَخَفًا بِالْاَسْوَاقِ
|
dan tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan yang sama
|
وَلَا يُجْزي بِالسَّيِّئَةِ مِثَلَهَا
|
dan akan tetapi memaafkan dan melapangkan urusan/ memudahkan
|
وَلَكِنْ يَعْفُوْوَيَصْفَحُ
|
E. BIOGRAFI PERAWI
Nama
aslinya adalah 'Abdun ibn 'Abdun. Ada pula yang mengatakan nama aslinya
adalah 'Abdurahman ibn 'Abdun. Dalam kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi
berkata: "Ia Syi'ah ekstrim. Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat
pilihan, dan Imam Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat.
Ibn
Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini: "Ibn Abu Haytsumah
menceritakan dari Ibn Mu'in bahwa Abu 'Abdullah adalah tsiqat. Ibn
Hibban menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat. 'Ajli memandang dia
sebagai seorang tabi'in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa'ad setelah
menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha'if. Dikatakannya bahwa ia
Syi'ah ekstrim.
Ulama
hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn Abi 'Ubayd. Ia pernah
dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr dengan kekuatan pasukan sejumlah 800
orang dari penduduk Kufah. Mereka datang untuk mencegah keinginan dan
kehendak Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa'i berkata:
"Aku mendengar Abu 'Abdullah al-Jadali adalah serdadu Mukhtar."
Ibn
Hajar berkata: "Ibn Zubayr memanggil Muhammad al-Hanafiyyah untuk
berbai'at kepadanya. Muhammad menolak ajakan bai'at itu, lalu ia ditahan
atau dikurung di suatu tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya
mengintimidasi Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita
penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di Kufah.
Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju Makkah di bawah
pimpinan Abu 'Abdullah al-Jadali."
Mereka
berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari kurungannya. Muhammad
mencegah satuan perang itu bertempur di kota suci Makkah. Dari sinilah,
demikian Ibn Hajar, ulama hadits memvonis Abu 'Abdullah dan Abu
ath-Thufay, yang ikut serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya
tidaklah dipandang cacat lantaran perbuatannya itu.
Dari
berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama tidak mengecam Abu
'Abdullah, kecuali paham Syi'ah yang dianutnya. Sebagian ulama yang
memberikan kritik kepadanya menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu
'Abdullah menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa Syi'ah
yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim, tidaklah merusak
sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal jujur, amanah, dan tidak
pernah berdusta.
Bila
kita melihat latar-belakang kehidupan Abu 'Abdullah, nyatalah bahwa tak
seorang pun ulama hadits yang menuduhnya sebagai pendusta. Karena
itulah, Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu'in, Ibn
Hibban dan al-'Ajli. Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya.
Hal
di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni dalam menentukan
keadilan dan tsiqatnya seorang perawi. Mereka berpegang pada firman
Allah:
"Dan
janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu
melakukan ketidakadilan. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih
mendekati ketakwaan." (QS, al-Ma'idah, 5:8).
Mereka
tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan secara serampangan,
mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta. Seandainya mereka demikian,
tentu Abu 'Abdullah sudah dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan
haditsnya, lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi 'Ubayd.
Kejujuran
ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan orang Rafidhah yang
seringkali menggugurkan sifat adil seorang perawi. Bahkan mereka
mengkafirkannya dengan alasan yang dibuat-buat; seperti termuat dalam
beberapa referensi mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang
lebih utama dibanding Abu 'Abdullah, yaitu Abu Bakar dan 'Umar, bahkan
mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja dari
mereka. Pengkafiran ini tidak lain hanya karena keyakinan para sahabat
tersebut berbeda dengan keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini
yang dinamakan fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah.
Ibn
Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh kaum Rafidhah
sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim dan tidak jujur. Beliau
menolak semua tuduhan itu, dan menyatakan bahwa setiap orang yang
berakal akan mengetahui kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan
terbebasnya mereka dari sifat fanatik. Hal ini terlihat dari kata-kata
Ibn Hajar: "… dari sini sebagian ulama hadits memvonis Abu 'Abdullah dan
Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam satuan tempur itu.
Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah membuat keduanya tercela, insya
Allah."
Pernyataan
Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena ia membela Abu
'Abdullah, dan menolak semua orang yang mendha'ifkan dia dari kalangan
Ahlus Sunnah. Beliau juga menolak orang yang mengkultuskannya.
Perhatikanlah.
F. SYARAH HADITS
Terjemah kitab Faidhul Qhadir:
(كَا نَ اَحْسَنَ ) lafadz ini kalau pada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi berbunyi (من احسن ) (النَّاسِ خُلُقًا )
yaitu berkumpulnya kebaikan dan kehormatan yang terangkum didalamnya
dan tidak berkumpul padanya kesempurnaan dan sifat – sifat mulia serta
keindahan apa – apa yang tidak mengelilinginya.
Allah
SWT. Berfirman dalam al Qur’anNya: “ dia mensifatinya dengan keagungan
dan menambahnya dengan pujian yang tinggi atas keagungan akhlak dan
kemuliaan dan tidak ada manusia atau makhluk lain yang menyamainya,
Dan
kesempurnaan akhlak sesungguhnya terdiri dari kesempurnaan akal karena
dia yang terdapat padanya keutamaan – keutamaan dan, sebagaimana
perkataaan penulis bahwasanya ini adalah hadits yang mengisahkan tentang
kesempurnaan akhlaknya.. bahkan pada diri seorang miskin ada yang
berpendapat seandainya datang waktu solat dan dia dirumah kami, maka dia
akan menyuruh membersihkan yang dibawahnya. Maka diapun akan menyapunya
kemudian membersihkannya kemudian Rasulullah SAW. Mengimami dan kamipun
berdiri dibelakangnya. Maka kamipun solat bersamanya padahal sajadahnya
terbuat dari pelepah kurma. Demikianlah sebagaimana dalam Shahih
muslim. (faidah/..فاادة.) sebagaimana yang diriwayatkan oleh sanad abu Musa Muadlim).
Sebagaimana
yang disandarkan Hudayah dari hamad, dari Tsabit dari Anas berkata: “
datang seorang utusan dari Yaman dan bersamanya seorang laki – laki
berkatalah Du’lah bin Ukilan al
Misali maka dia berhenti di hadapan Nabi SAW. Dan dia berkata Yaa
Rasulullah, siapa sebaik – baik akhlak manusia dan sebaik – baik
ciptaan. Rasulullah berkata “Saya ya Du’lan dan janganlah sombong”, maka
diapun menyebut sebuah hadits lafadz seperti yang tadi diatas. (dari
Hamad, Tsabit, Anas) pada sebagian riwayat Anas berkata sesungguhnya
padaku seorang saudara maka Abu Umairpun berkata padanya: saya pikir dia
adalah Fatimah, maka jika datang Rasulullah SAW. maka diapun melihatnya
dan diapun berkata, Yaa Umair apa yang dikatakan Nafir, diapun berkata:
sesungguhnya dia bermain – main dengannya. Demikianlah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh muslim dan didalamnya dia juga meriwayatkan siapa
sebaik – baik akhlak manusia? Maka dia mengirimkan padaku sebuah jawaban
dan diapun berkata: “ demi Allah tidaklah aku pergi dan tidaklah dia
keluar sampai dia menyuruh anak kecil bermain dipasar, maka jika
Rasulullah berjalan dari belakangku maka anak – anak itu akan melihat
padanya dan diapun tertawa. Unais berkata, saya akan pergi jika kau
menyuruh, dia berkata : ya, saya pergi
(كَا نَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا ( artinya suatu gambaran atau sejarah.
( واجورالناس)
pada segala sesuatu yang bermanfaat. Hal ini mengandung arti peniadaan
keumuman atau kebanyakan sifat manusia karena barang siapa yang
menyempurnakan kemuliaan dan membersihkan hati dan melembutkan sifat dan
menambahkan pujian. Semuanya adalah sarana untuk dekat dengaNya dan
karena itu pula manusia pada umumnya tertolong dari kesusahan berkat
kebaikan – kebaikannya dan karena itu pula dia tersifati oleh sifat –
sifat Allah yang ada padanya.
( اسجؤالناس)
artinya orang yang kuat hatinya dan orang yang baik dalam semua
keadaan. Dan keberaniannya yang terlihat ketika dia dimedan peperangan
dan apa yang terlihat pula diluar peperangan.
Dan
tidaklah Ahmad berkata tentangnya dan sungguh terlihat keberaniannya
itu secara terus menerus. Berkatalah seorang penulis bahkan sifat itu
tergambar dalam ayat al Qur’an yaitu: “ hai Nabi, perangilah orang –
orang kafir”. Arti ayat ini adalah Rasulullah SAW. Dibebani perintah
sendirian untuk memerangi orang – orang kafir semuanya. Serta dalam
salah satu ayat pula (tidaklah Allah membebani seseorang itu sesuai
dengan kemampuannya ) ayat ini artinya) tidaklah menunjukkan pada
orang lain, tetapi Rasulullah sendirian. Tujuannya adalah bahwasanya
itu untuk kepentingan bersama. Dan sungguh terkumpul pada Rasulullah itu
3 jenis sifat taqwa (akal) kemarahan dan syahwat dan sebaik – baik
sifat itu adalah beliau, karena beliau mempunyai sifat yang baik. Dan
kesempurnaan sifat beliau adalah pada diri beliau itu terkumpul kekuatan
syahwat, marah, keberanian itu secara seimbang. Demikianlah perkataan
At Thabi’i dari Annas bin Malik.[1]
G. ASPEK TARBAWI
Dari
berbagai uraian diatas dapat diambil beberapa aspek tarbawi terkait
pendidikan dalam rumah tangga, yang mana telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Sebagaimana keterangan dari istri beliau Aisyah ra.
bahwa akhlak Rasulullah SAW. adalah sebaik – baik akhlak manusia.
Begitupun dalam keluarganya, beliau tidak pernah berkata – kata maupun
berbuat keji kepada anggota keluarganya, tidak mengangkat suara ketika
berbicara , tidak pernah membalas sebuah kejelekan dengan kejelekan
pula. Bahkan beliau justru melapangkan urusan sehingga dapat
diselesaikan dengan cara yang baik. Dan kesempurnaan dari sifat beliau
adalah pada diri beliau terkumpul kekuatan syahwat, marah dan keberanian
secara seimbang. Berbeda dengan manusia biasa yang cenderung pada satu
aspeknya saja. Itulah barangkali satu dari sedemikian banyak sikap yang
beliau contohkan kepada istri dan keluarganya baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sehingga orang – orang yang berada satu rumah
dengan beliau adalah orang – orang yang berakhlak mulia pula. Di dalam
maupun diluar rumah.
Motivasi
belajar dari luar diri anak terutama dari orang tuanya sangat berperan
untuk pencapaian prestasi seorang anak, karena orang tuanyalah yang
mengatur dan mengetahui keberadaan seorang anak diluar sekolah dan
setiap kebutuhan belajar anak dipenuhi oleh orang tuanya.
Orang
tua dalam mendidik anak, khususnya di dalam rumah tangga sangatlah
penting, karena di dalam rumah tangga seorang anak mula - mula
memperoleh bimbingan dan pendidikan dari orang tuanya. Tugas orang tua
adalah sebagai guru atau pendidik yang utama dan pertama di dalam rumah
tangga dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan mental dan fisik
anak.
Bagi
orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anaknya, akan
selalu memandang anak sebagai mahluk yang berakal yang sedang tumbuh dan
bergairah serta selalu ingin menyelidiki dan selalu ingin mengetahui
sesuatu yang ada disekelilingnya. Oleh karena itu orang tua merasa
terpanggil untuk mendidik atau memberikan perhatian atau motivasi kepada
anak-anaknya. Namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini sebagian
orang tua lupa dan lalai karena tidak tahu bagaimana cara melaksanakan
tugas yang amat penting itu. Banyak diantara orang tua yang beranggapan
bahwa kalau anak-anak sudah diserahkan kepada guru di sekolah, maka
selesailah tugas mereka dalam mendidik atau memberikan perhatian
terhadap pendidikan anaknya.[2]
Hal – hal sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. diataslah
yang seharusnya ada pada setiap keluarga. Sehingga keluarga dapat
menjadi sebuah tempat pendidikan awal yang baik bagi seorang anak,
sebelum bergaul dimasyarakat. Masing – masing anggota keluarga harus
bisa menjadi teladan yang baik bagi yang lainnya. Terutama seorang ayah
dan ibu, yang merupakan orang – orang yang terdekat dengan anak dan
menjadi tempat berkaca bagi seorang anak. Jika anggota keluarga
mempunyai kebiasaan melakukan hal – hal yang tidak baik, maka bukan
tidak mungkin anakpun akan ikut mencontoh untuk melakukan hal yang tidak
baik pula. Karena ketidakbaikan itu telah diaanggapnya sebagai hal yang
biasa. Begitupun sebaliknya.
Oleh
karena itu pendidikan keluarga menjadi sangat penting bagi seorang anak
sebagai pembentuk karakter anak sejak dini serta sebagai pendidikan
awal yang membekali anak tersebut untuk bergaul dengan orang – orang
dilingkungannya. Tentunya dengan tauladan - tauladan yang baik dari
setiap anggota keluarga. Sehingga ketika anak dewasa dan berbaur
dilingkungannya yang diluar rumah, anak tidak akan mudah terseret pada
pergaulan dan kebiasaan yang tidak baik.
Rosjidan (1996:3-4) mengemukakan bahwa terdapat delapan fungsi keluarga yaitu:
a) Fungsi keagamaan
Untuk
mendorong keluarga sebagai wahana penanaman kaidah-kaidah ajaran agama
agar tercipta insan-insan pembangunan yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
b) Fungsi sosial budaya
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya masyarakat/bangsa yang mulia dan beradab.
c) Fungsi cinta kasih
Untuk
mendorong keluarga sebagai wahana pembinaan cinta kasih sayang serta
jiwa kesetiakawanan antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan
masyarakat lingkungannya.
d) Fungsi perlindungan
Untuk
mendorong sebagai wahana pembinaan untuk menciptakan rasa aman, damai,
nyaman, dan tentram serta keadilan sebagai cerminan hidup yang sejahtera
lahir batin.
e) Fungsi reproduksi
Untuk
mendorong keluarga sebagai wahana pelaksanaan kesadaran akan pentingnya
peranan reproduksi sehat dalam upaya mewujudkan keluarga yang sehat dan
sejahtera.
f) Fungsi sosialisasi
Untuk
mendorong keluarga sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan murid yang
ekonomi, efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri dan kelurga.
g) Fungsi ekonomi.
Untuk
mendorong keluarga sebagai wahana pembentukan sikap hidup yang
ekonomi, efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarga[3].
H. PENUTUP
Rumah
seseorang ibarat cermin yang menggambarkan keluhuran akhlak,
kesempurnaan budi pekerti, keelokan pergaulan dan ketulusan nuraninya.
Tidak seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya di balik kamar dan
dinding. Saat ia bersama hamba sahaya, pembantu atau bersama istrinya.
Ia bebas berbuat tanpa sungkan dan berpura – pura. Sebab ia adalah raja
yang memerintah dan melarang didalamnya
Rasulullah
dengan kesempurnaan akhlaknya telah memberikan contoh bagaimana berlaku
dalam keluarga. Yakni dengan tidak berkata maupun berbuat keji, tidak
mengangkat suara ketika berbicara, tidak membalas kejelekan – dengan
kejelekan yang sama serta saling memaafkan dan melapangkan urusan. Dan
banyak lagi yang telah beliau contohkan yang terangkum dalam sunnah –
sunnah beliau.
Rasulullah
SAW. menjalani dan menghiasi kehidupan rumah tangganya dengan penuh
kasih sayang, dengan tauladan yang baik dari akhlak mulia yang beliau
miliki. Begitupun seharusnya yang ada pada semua keluarga yang ada
didunia ini, menghiasi rumah tangganya dengan kasih sayang sehingga
keluarga menjadi tempat pendidikan non formal yang baik dan anak merasa
nyaman berada diantaranya.
I. PUSTAKA
Al Munawi. Kitab Fidhul Qhadir. Juz 5.
Udangdanang.wordpress.com (Yodi Indrayadi, 2011/12/22.) Rabu, 15 Februari 2012
[1] Al Munawi. Kitab Fidhul Qhadir. Juz 5. Hlm 95
[2] http://arisandi.com/peranan-keluarga-dalam-perkembangan-anak (Deni Arisandi, 16 Maret 2011) , rabu 15 Feebruari 2012
[3] http://arisandi.com/peranan-keluarga-dalam-perkembangan-anak. (Deni Arisandi) , rabu, 15 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar