MAKALAH
PROPORSIONAL DALAM MENDIDIK
Mata Kuliah : Hadis Tarbawi 2
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I
Disusun Oleh:
ARINTA SYLVIA DAMAYANTI
NIM: 2021110049
Kelas B
Jurusan Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Pendidikan
dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga
dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak
dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama
di dalam keluarga. Dikatakan utama karean pendidikan yang terjadi dan
berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
pendidikan anak selanjutnya.
Lingkungan
keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung
berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak didik.Bilamana
keluarga itu beragama Islam maka pendidikan agama yang diberikan kepada
anak adalah Pendidikan Islam. Dalam hal ini Pendidikan Islam ditujukan
pada pendidikan yang diajarkan Allah melalui Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Nabi.
Salah
satu pendidikan yang awal dalam mendidik keluarga versi Islam adalah
dengan memberikan pendidikan shalat. Rasulullah SAW memerintahkan kepada
orang tua untuk memberikan pendidikan shalat kepada anak, namun tidak
serta merta memberikan dengan cara yang sembarangan, tetap ada adab dan
etika serta nilai-nilai pendidikan dalam menjalankannya. Disamping itu,
pendidikan terkait dengan perilaku atau khususnya pada anak yang sudah
baligh yang sudah mengenal lawan jenis, atau dalam bahasa sekarang
disebut dengan “sex education” bagaimana orang tua mendidik anaknya untuk senantiasa menutup aurat dalam keseharian.
Pendidikan
shalat dan perintah menutup aurat merupakan dua hal yang sangat
terkait, sebab dalam shalat sendiri salah satu syarat syahnya adalah
dengan menutup aurat. Disamping itu, Rasul juga memberikan teladan bagi
orang tua untuk bisa mendidik anaknya dengan lembut, tidak kasar,
membentak. Sebagaimana dalam hadis berikut ini yang menjelaskan tentang
bagaimana Rasul mengajarkan untuk mendidik anak melakukan shalat dan
batasan aurat yang harus tidak boleh dilihat walaupun oleh orang tuanya
sendiri serta hadis tentang bagaimana larangan berkata keras dalam
kehidupan sehari-hari dengan keluarga.
BAB II
PROPORSIONAL DALAM MENDIDIK
A. Materi Hadis
1. Hadis Pertama
2. Hadis kedua
B. Terjemah Hadis
1. Hadis Pertama
Dari Amr ibnu Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah
SAW bersabda “Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat pada umur 7
tahun, dan pukullah kamu semua terhadap anakmu apabila sampai umur 10
tahun tidak melakukan shalat. Dan pisahlah tidur mereka, dan apabila
mereka menikah dengan orang lain atau tetanggamu, maka tidak boleh
melihat terhadap sesuatu dari auratnya, dari wajah sampai kedua lutut.”
(Hadis riwayat Ahmad di dalam musnadnya, dalam Al Mukhtar min Shahabah).
2. Dari Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Rasulullah meyuruh untuk
merendahkan suara di dalam rumah”. (Hadis riwayat Bukhari di dalam kitab
Abadul Mufrad bab pendidikan dalam keluarga).
C. Mufrodat
1. Hadis pertama
dari Amr ibnu Syu’aib
|
=
| |
dari ayahnya
|
=
| |
dari kakeknya
|
=
| |
berkata
|
=
| |
Rasulullah SAW bersabda
|
=
| |
perintahkan/suruhlah
|
=
| |
anak-anakmu
|
=
| |
untuk shalat
|
=
| |
pada usia tujuh tahun
|
=
| |
dan pukullah mereka
|
=
| |
(ketika) tidak melakukan shalat
|
=
| |
pada usia sepuluh tahun
|
=
| |
dan pisahlah
|
=
| |
di antara mereka (anak-anakmu)
|
=
| |
di dalam tidurnya
|
=
| |
dan apabila
|
=
| |
menikah
|
=
| |
di antara mereka
|
=
| |
dengan orang lain
|
=
| |
atau dengan tetanggamu
|
=
| |
maka tidak boleh melihat
|
=
| |
terhadap sesuatu
|
=
| |
dari auratnya
|
=
| |
maka serendah-rendahnya
|
=
| |
dari wajah
|
=
| |
sampai kedua lutut
|
=
| |
dari auratnya
|
=
|
2. Hadis kedua
dari ibnu Abbas R.A
|
=
| |
berkata
|
=
| |
sesunggunya Rasulullah SAW
|
=
| |
menyuruh
|
=
| |
untuk merendahkan/menghaluskan
|
=
| |
suara
|
=
| |
di dalam rumah
|
=
|
D. Biografi Rawi
1. Amr ibnu Syu’aib
Abu
Dawud mengatakan : Riwayat Amr Ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya
tidak dapat dijadikan Hujjah. Abu Ishaq mengatakan : Dia itu seperti
Ayyub dari Nafi‟ dari Ibn Umar, dan al-Nasa‟I menilainya tsiqah.
Al-Hafidh Abu Bakar Ibn Zayyad mengatakan : Mendengarnya Amr dari
bapaknya adalah sah (benar). Mendengarnya Syuaib dari kakeknya Abd Allah
Ibn Amr juga sah (benar). Imam Bukhari mengatakan: Syuaib pernah
mendengarkan dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.
Data-data
diatas menunjukkan bahwa Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang
diperselisihkan ketsiqahannya. Ulama yang tidak mentsiqahkannya tidak
sampai pada men-jarh-nya dalam keadilan dan kedhabitannya, tetapi mereka
menilainya negative karena factor eksternal diluar keadilan dan
kedhabitannya, yaitu persoalan periwayatannya dari bapaknya. Apakah
benar dia pernah mendengar dan belajar kepada bapaknya?. Kalau memang
ya, apakah semua hadits yang ia riwayatkan itu memang didengar semuanya
dari bapaknya?. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan Ulama al-Jarh wa
al-Ta‟dil mengatakan: Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka
dia Tsiqah. Kesimpulannya, secara pribadi Amr Ibn Syuaib adalah
periwayat yang Tsiqah walaupun tidak penuh atau dengan ungkapan redaksi
lain shaduq. Jika dia mengatakan mendengar dari bapaknya, maka haditsnya
bisa dijadikan hujjah.
2. Syu’aib bin Muhammad
Nama
lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin ‘Amru bin Al ‘Ash adalah periwayat
yang sangat jujur (shaduq), teguh pendiriannya (tsabt) dan pernah
meriwayatkan hadis dari bapaknya.
3. Ibnu Abbas
Abdullah
bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun
sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan
ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu
saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu
`Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas.
Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu
`Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang
mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah
‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair),
dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang
menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah.
Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya
oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Abdullah
bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang
paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif
menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`.
Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu
Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi
Thalib.
Pada
akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di
Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun.
E. Keterangan Hadis
“Perintahkanlah kamu semua (wajib) kepada anak-anakmu semua. Dan di dalam riwayat-riwayat lain menggunakan kata “’abna ‘akum” Attibi berkata: “Kata murru aslinya umru hamzahnya itu tersimpan karena untuk meringankan. Ketika fa’lul fi’linya tersimpan,
maka tidak membutuhkan hamzah washol untuk mengharokati mim. Untuk
shalat diwajibkan, dan mereka anak di umur tujuh tahun. Dan pukullah
mereka dengan alasan tidak shalat waktu mereka umur sepuluh tahun. Yaitu
apabila anak mereka berumur tujuh tahun maka perintahkanlah kamu semua
kepada anak-anakmu untuk melaksanakan shalat. Untuk menjalankan dan
melakukan shalat. Dan apabila sudah berumur sepuluh tahun maka kamu
diwajibkan untuk memukul anak-anakmu apabila meninggalkan shalat”. Ibnu
Abdissalam berkata: “Yang diwajibkan itu orang tua dan anak kecil tidak
mendapatkan hukuman wajib shalat.” Dan pisahkanlah kamu semua diantara
anak-anakmu di dalam tempat tidur, yang mereka tempati untuk tidur.
Apabila berumur sepuluh tahun dikhawatirkan dari munculnya syahwat. Dan
sekalipun saudara perempuan mereka. Attibi berkata: “Mengumpulkan
perintah untuk shalat dan memisah mereka di tempat tidur untuk anak
kecil. Karena mendidik dan untuk menjaga semua yang diperintahkan Allah.
Dan mendidik mereka dan untuk saling menjaga diantara makhluk dan agar
tidak ada perselisihan untuk menghindari yang dilarang. Dan ketika salah
satu diantara anakmu menikah dengan pelayanmu, orang lain atau
tetanggamu maka tidak boleh melihat sesuatu selain wajah, yang tidak
boleh melihat yang di atas lutut. Dan di dalam satu riwayat tidak boleh
melihat antara sesuatu diantara wajah dan lutut. Maka sesungguhnya
diantara wajah dan lutut itu adalah aurat. Dan di dalam riwayat
Daraqutni: “Kamu tidak boleh melihat orang lain terhadap sesuatu dari
auratnya. Sesungguhnya sesuatu di bawah wajah sampai lutut itu adalah
aurat. Riwayat dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya di dalam
kitab Riyad.”
F. Aspek Tarbawi
1. Hadis pertama
Hadits
di atas adalah suatu bentuk informasi untuk konteks shalat perintah
shalat kepada anak harus sudah mulai keras ditekankan pada usia 7 tahun.
Pada usia 10 tahun mulai berlakukan hukuman, yakni memukul yang tanpa
mencederai. Pembelajaran shalat yang dilakukan oleh orang tua harus
didasarkan pada keadaan psikologis atau perkembangan anak, di dasarkan
pada usia 7 tahun karena pada usia tersebut adalah standar rata-rata
anak sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga
perintah shalat mempunyai peran penting untuk mendidik kepribadian
anak. Sedangkan pada usia 10 tahun adalah usia anak mendekati baligh,
sehingga pemberian hukuman adalah suatu yang membawa dampak positif bagi
anak sebagai potensi dasar dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai
seorang hamba kepada Tuhannya.
Ada beberapa tahap dalam memberikan pendidikan shalat kepada anak, yaitu:
Tahap pertama:
menyemangati dengan menasehati anak tentang pentingnya sholat 5 waktu.
Dalam tahap ini diwajibkan kepada orang tua selain menasehati tentang
pentingnya sholat peran orang tua juga dituntut untuk bisa memberi
contoh dengan cara mengajak anaknya ikut dalam sholat 5 waktu berjamaah.
Perlu
kita ketahui bersama-sama bahwasanya para nabi dimasa kecilnya selau
berjalan dan bermain ditengah-tengah para jemaah sholat. Oleh karena itu
tidaklah berdosa bagi kedua orang tua untuk mengajak anak-anak mereka
ikut dalam sholat berjmaah walaupun mereka belum fasih dalam membaca
bacaan sholat. Dan dalam masa ini diwajibkan juga kepada kedua orang
tua untuk tidak membentak anaknya.
Tahap kedua : Tahap ini dilakukan sebelum usia anak menginjak 7 tahun dan tahap ini dibagi dengan empat bagian yaitu,
Bagian
pertama: dengan mengajarkan anak tata cara bersuci yang sederhana
seperti, menghindari dari najis seperti najisnya air seni dan lain
sebagainya dari macam-macam najis. Dan juga mengajarkan tata cara
beristinja' atau membersihkan kotoran setelah buang hajat diikuti dengan
adab-adab dalam membuang hajat. Dan setelah itu dengan mengajarkan
mereka pentingnya menjaga kebersihan tubuh dan pakain dikuti dengan
penjelasan bahwa kebersihan itu semua ada hubungan dengan syarat dari
diterimanya sholat.
Bagian
kedua : Mengajarkan kepada anak al-Fatihah dan sebagian surat-surat
pendek dalam bacaan sholat. Seperti, surat an-Nas, surat al-Ikhlas Dan
lain-lain.
Bagian
ketiga: mengajarkan tata cara berwudhu diikuti dengan praktek secara
langsung seperti apa yang dilakukan para sahabat terhadap anak-anaknya.
Bagian
keempat : sebelum usianya menginjak tujuh tahun kita mulai dengan
melatihnya dalam mengerjakan sholat tetapi bukan secara keseluruhan
(lima waktu) namun dengan mengerjakan salah satu darinya misalnya
mengerjakan sholat subuh.
Tahap ketiga: Diantara usia tujuh tahun hingga sepuluh tahun
Anak
bisa belajar dan tau bahwa kewajiban sholat lima waktu telah menjadi
tugas baginya, oleh karena itu diwajibkan kepada kedua orang tua untuk
selalu menasehati putra-putri mereka pada dalam masa ini dikarenakan
rasulullah telah mengkhususkan pada masa ini sebagai masa atau periode
nasihat dalam perintah mengerjakan sholat yang sesungguhnya. Dalam hal
ini dianjurkan kepada orang tua untuk selalu mengulang-ulang dalam
menasehati dan mengingati anak-anaknya untuk mengerjakan sholat dengan
lemah lembut, senyuman dan rasa cinta serta kasih sayang. Nah, jika kita
menghitung seandainya kita menasehati putra-putri disetiap waktu sholat
maka dalam waktu tiga tahun dari usia tujuh hingga sepuluh tahun maka
kita telah mengingati sang anak sebanyak 5475 kali. Dan didalam masa ini
sang anak juga diharuskan mempelajari tata cara bersuci dan sholat yang
baik dan benar diikuti oleh bacaan sholat dan doa-doa setelahnya.
Tahap
keempat: tahap ini dilaksanakan pada usia sepuluh tahun yaitu, Perintah
mengerjakan sholat dan memukulnya bagi yang meninggalkannya.
Dalam
tahap ini dilakukan setelah pelaksanaan tahap yang keempat dengan
berulang-ulang selama tiga tahun dan apabila sang anak masih suka
meninggalkan sholat maka di haruskan bagi kedua orang tua untuk
memukulnya agar kelak sang anak tidak meremehkan perintah sholat
nantinya. Dan didalam masa ini pula kedua orang tua mengajarkan sang
anak sholat-sholat sunna seperti witr, dhuha dll. Juga dianjurkan kepada
orang tua dalam penekanan perintah melaksanakan sholat subuh dengan
tepat waktu hingga tertanam di benak anak kebiasaan yang baik di masa
yang akan datang.
Adapun
ada batas-batas pemukulan orang tua terhadap anaknya, seperti apa yang
disabdakan oleh rasul untuk menjauhi daerah sekitar pipi atau
menamparnya.
2. Hadis kedua
Allah
Ta’ala melarang istri-istri Rasulullah beserta para wanita kaum
mukminin, untuk merendahkan suara dan menghaluskannya di hadapan kaum
laki-laki. Larangan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan
munculnya keinginan berzina bagi orang yang di dalam hatinya terdapat
penyakit, dan bahkan cenderung menggerakkan hatinya itu kepada hal-hal
yang mengarah kepada perbuatan zina. Semestinya para wanita berbicara
seperlunya saja, tanpa bertele-tele, banyak basa-basi dan
diperhalus-haluskan suaranya.
Perintah
yang berupa larangan merendahkan suara ini, merupakan target poin
paling urgen dalam rangka menyatakan kewajiban berhijab bagi para wanita
yang beriman. Dan, sesungguhnya menjauhi dari perbuatan ini bagi
seorang wanita, termasuk bagian dari upaya menjaga kemaluannya. Namun,
itu tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh rasa malu, sifat 'iffah dan
kewajaran. Dan kesemuanya ini pada dasarnya terkandung dan bisa
direalisasikan melalui hijab. Oleh karena itu, maka pada aspek
berikutnya dibahas tentang perintah yang secara gamblang menyuruh untuk
berhijab di dalam rumah.
Dengan
merendahkan suara atau tidak meninggikan suara di rumah, maka orang tua
telah memberikan pendidikan kepada anak tentang adab dalam berhubungan
dengan orang lain, serta memberikan ketenangan batin di dalam rumah
tangga.
PENUTUP
Bahwa Rasul memberikan perintah kepada semua orang tua untuk melakukan
pendidikan dasar kepada anaknya dalam melaksanakan perintah dari Allah,
sebagai suatu bentuk tanggung jawab dan pelajaran dasar dari aspek
kehidupan.
Shalat
dan menutup aurat serta adab dirumah adalah salah satu bentuk
pendidikan dasar yang harus dierapkan orang tua kepada anaknya. Sehingga
sedari dini anak sudah dilatih dan terbiasa dengan segala bentuk
kebaikan dan nantinya anak akan terpola dengan keadaan yang baik sesuai
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
PUSTAKA
M. Alawi Al-Maliki. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Imam Nawawi. 2003. Faidhul Qodir. Juz 5. Mesir. Maktabah.
http://www.alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=1477&idjudul=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar