M A K A L A H
SUNNAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I
Oleh:
SITI MASKANAH
NIM. 2021110069
Kelas B
JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Ilmu
pengetahuan merupakan cahaya bagi orang yang memilikinya, sebab dengan
ilmu manusia bisa terlepas dari zaman kebodohan yang dapat menyesatkan.
Allah Swt memerintahkan kepada hamba-Nya untuk rajin dalam mencari ilmu
pengetahuan. Manusia yang mempunyai ilmu akan dapat memproyeksikan
kehidupannya sesuai dengan ilmunya sehingga hidupnya lebih bermakna.
Diantara sumber ilmu pengetahuan yang ada dalam ajaran Islam yaitu
sunnah, yang merupakan segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw
baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya.
Sekiranya
Allah tdak mengutus Rasulullah untuk menjadi guru manusia, tentulah
masyarakat manusia terus menerus berada dalam kebodohan sepanjang masa.
Walaupun akal dan otak manusia mungkin menghasilkan berbagai ilmu
pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya,
yaitu hal-hal yang di luar akal manusia.
Di
dalam makalah ini penulis akan memaparkan salah satu hadits tentang
sumber ilmu pengetahuan yaitu sunnah karena sunnah merupakan informasi
yang benar yang bersumber dari Rasulullah. Berikut adalah pemaparan
hadits beserta keterangan-keterangannya.
PEMBAHASAN
SUNNAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN
A. MATERI HADITS
عَنْ
اَلْعِرْ بَاضِ بِنْ سَارِيَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ: (نَزَ لْنَا مَعَ
النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ وَمَعَهُ مَنْ
مَعَهُ مِنْ اَصْحَابِهِ وَكَانَ صَاحِبُ خَيْبَرَ رَجُلاً مَارِدًا
مَنْكَرًا فَاَقْبَلَ إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ يَا ابْنُ عَوْفٍ اِرْكَيْ قَرَسَكَ ثُمَّ نَادِ أَلاَ إِنَّ
الْجَنَّةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِمُؤْمِنٍ وَاَنِ اجْتَمِعُوْا لِلصَّلاَةِ
قَالَ فَاجْتَمَعُوْا ثُمَّ صَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ فَقَالَ أَيَحْسَبُ اَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا
عَلَى أَرِيْكَتِهِ قَدْ يَظُنُّ أَنَّ الله َ لَمْ يُحِرِّمْ شَيْئًا
اِلاَّ مَافِي هَذَا الْقُرْآنِ. أّلاَ وَإِنِّى وَاللهِ قَدْ وَعَظْتُ
وَاَمَرْتُ وَنَهَيْتُ عَنْ اَشْيَاءَ إِنَّهَا لَمِثْلُ الْقُرْآنِ أَوْ
اَكْثَرُ وَاِنَّ الله َ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَحِلَّ لَكُمْ أَنْ تَدْ
خُلُوْا بُيُوْتَ أَهْلِ الْكِتَابِ اِلاَّ بِاذْتٍ وَلاَ ضَرْبَ
نِسَائِهِمْ وَلاَ أَكَلَ ثِمَأرِهِمْ اِذَا اَعْطَوْكُمْ الَّذِيْ
عَلَيْهِمْ)
(رواه أبو داود فى السنن, كتاب الخراج والإمارة والفيء, باب في تعشير أهل الذمه اذا اختلفوا با التجارات)
B. TARJAMAH HADITS
Dari
‘Irbadh bin Sariyah as-Sulami ra, dia berkata : kami pergi ke Khaibar.
Beliau disertai sahabat yang menyertainya. Pemilik tanah Khaibar adalah
seorang laki-laki durhaka lagi melampaui batas. Dia datang menghadap
Nabi Saw berkata: “Wahai Muhammad, apakah kalian hendak menyembelih
keledai-keledai kami, memakan buah-buah kami dan memukuli kaum wanita
kami?” mendengar hal itu Nabi Saw marah dan bersabda: “Wahai Ibnu Auf
naikilah kudamu lalu bersabda: Sesungguhnya surga tidak halal, kecuali
untuk orang mukmin. Dan hendaklah kamu berkumpul untuk sholat!” kata
irbadh: maka mereka berkumpul, kemudian Nabi Saw mengerjakan sholat
bersama mereka, lalu berdiri, setelah itu beliau bersabda: “Apakah
seseorang diantara kamu mengira seraya duduk-duduk di atas singgasananya
lalu ia menduga, bahwa Allah tidak pernah mengharamkan sesuatu kecuali
yang terdapat di dalam Al-Qur’an ini? Ketahuilah, demi Allah
sesungguhnya aku telah memeintahkan dan memberi peringatan, dan aku
melarang beberapa perkara! Sesungguhnya Allah A.W.J. belum pernah
menghalalkan untuk kamu memasuki rumah-rumah ahlul kitab, kecuali dengan
meminta izin. Tidak pula memukul kaum wanita mereka, dan tidak pula
memakan buah-buahan mereka, apabila mereka telah memberi kewajiban
mereka kepadamu (berupa upeti)”[1]
C. MUFRADAT (KATA-KATA PENTING)
Orang yang durhaka lagi melampaui batas : مَارِدًا
Keledai-keledai milik kami : حُمُرَنَا
Diatas pelaminannya (singgasananya) yang : أَرِيْكَتِهِ
Dihiasi dengan berbagai macam perhiasan.[2]
D. BIOGRAFI PERAWI HADITS
Abu
Tujaih al-Irbadh lain sariyah adalah sahabat dari kalangan ahli
shuffah. Beliau adalah sahabat yang sering menangis yang menginginkan
untuk berjihad dan berparang bersama Rasulullah dalam prang Tabuk,
perang yang sangat sulit. Rasulullah tidak memiliki perbekalan untuk
memberangkatkannya, maka mereka keluar sambil menangis. Al-Irbadh
generasi terdahulu dari orang yang masuk Islam. Dia berkata bahwa dia
orang ke empat yang masuk Islam. Beliau pernah singgah di Syam lalu
tinggal di Himsh dan meninggal di sana pada tahun 75 H dalam usia 70
tahun.[3]
E. KETERANGAN HADITS (SEJARAH HADITS)
(اِبْنَ عُمَيْرِ) dibaca dhummah ainnya dengan dikecilkan (رَجُلاً مَارِدًا) maksudnya orang yang durhaka (حُمُرَنَا) dengan dibaca dhomah huruf kha dan mimnya. Lafadz حُمُرَنَا adalah bentuk jamak dari mufrod حِمَارٍ . (وَاَنِ اجْتَمِعُوْا) dengan kalimat perintah (مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ)
di sebagian redaksi memakai “diatas kasurnya” dengan dimudhofkan kepada
dhomir maksudnya di atas kasur, lafadz isyarat nabi terhadap lafadz مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ
ialah tempat timbulnya kebodohan dan enggannya terhadap sunah-sunah
atau hadits. Penjelasan di atas sebagaimana tertera dalam kitab tafju
wadud. Imam Al-Qori berkata lafadz عَلَى أَرِيْكَتِهِ maksudnya
bersandar di atas kasur yang berhiaskan dengan intan. Permata,
pakaian-pakaian yang ada dalam rumah. Maksudnya orang-orang yang selalu
di dalam rumah dan enggan untuk mencari ilmu. Sebagaimana kebiasaan
orang-orang yang sombong yang sedikit perhatiannya terhadap urusan agama
sudah selesai (أّلاَ) kalimat untuk memperingatkan (وَإِنِّى) wawunya berfidah khal (عَنْ اَشْيَاءَ) berhubungan dengan larangan saja hubungan lafadz اَلْوَعْظِ dan اَلاَمْرِ yaitu dibuang maksudnya lafadz بِأَشْيَاءِ . (اِنَّهَا)
maksudnya sesuatu yang diperintah dan dilarang atas lisanku (nabi) yang
wahyu yang samar. Sebagaimana Allah berfirman (Dan setiap sesuatu yang
Nabi Muhammad ucapkan itu jauh dari hawa nafsu dan melainkan sesuatu itu
ialah wahyu yang diwahyukan kepadanya) (لِمَثْلُ الْقُرْآنِ), maksudnya dalam ukurannya (اَوْ اَكْثَرُ) maksudnya bahkan lebih banyak.
اَلْمُظَهَرْ berkata
atau perkataan lebih banyak itu bukan suatu kergauan bahkan
sesungguhnya Nabi Muhammad selalu bertambah ilmunya setelah meneirma
ilham dari Allah dan terbukanya sesuatu yang tertutup sedikit demi
sedikit, maka dibuka untuk Nabi sesuatu yang diberikan padanya pada
hukum-hukum selain Al-Qur’an lalu dibuka baginya dengan
tambahan-tambahan dengan bersambung dengannya. Penjelasan ini telah
diterangkan oleh Imam Al-abhari dan didalamnya terdapat perenungan
sebagaimana dalam kitan Al-Mirqoh milik Imam A-Qori’, (لَمْ يَحِلَّ) dari hal-hal yang dihalalkan (بُيُاتَ اَهْلِ الْكِتَابِ) yaitu ahli dhimmah atau kafir dhimmi yang menyerahkan atau membayar pajak (إِلاَّ بِإِذْنِ) maksudnya kecuali mereka memberikan izin kepada mereka semua dengan kasih (إِذَا اَعْطُوْ كُمْ الَّذِى عَلَيْهِمْ) maksudnya pajak.
Hasil
dari penjelasan hadits ini adalah tidak adanya pertentangan kepada
mereka (ahli dhimmah) dengan menyakitinya di dalam rumahnya dan
keluarganya juga hartanya hal tersebut apabila mereka membayar pajak,
dan apabila mereka membangkang terhadap pajak tersebut maka batallah
tanggungannya dan halal darah, hartanya, juga perempuan-perempuannya dan
jadilah mereka seperti kafir harbi yang harus diperangi, penjelasan ini
menurut Qori yang shahih dan telah dijelaskan juga oleh Ibnu Mulki.[4]
F. ASPEK TARBAWI
Berdasarkan
pada uraian-uraian di atas, kita dapat mengambil beberapa aspek tarbawi
yang terkandung dalam hadits tersebut. Diantaranya yaitu Rasulullah
memerintahkan kepada kita untuk meminta izin ketika kita akan memasuki
rumah orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nuur
ayat 27-28:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzô‰s? $·?qã‹ç/ uŽöxî öNà6Ï?qã‹ç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #’n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcrã©.x‹s? ÇËÐÈ bÎ*sù óO©9 (#r߉ÅgrB !$ygŠÏù #Y‰ymr& Ÿxsù $ydqè=äzô‰s? 4Ó®Lym šcsŒ÷sムö/ä3s9 ( bÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö‘$# (#qãèÅ_ö‘$$sù ( uqèd 4’s1ø—r& öNä3s9 4 ª!$#ur $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali
(saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Perihal
meminta izin ketika akan memasuki rumah orang lain ini berkaitan dengan
adab, yaitu perbuatan apa pun yang terpuji, baik berupa perkataan
maupun pekerjaan. Suatu pendapat mengatakan bahwa adab artinya memakai
akhlak-akhlak yang mulia. Menurut pendapat yang lainnya adab ialah
menghormati orang yang lebih tinggi darimu dan belas kasihan kepada
orang yang lebih bawah darimu. Menurut pendapat yang lainnya lagi adab
ialah menetapi perbuatan-perbuatan yang baik. Pengertian semuanya
berdekatan.[5]
Pasal
ini menerangkan tentang meminta izin untuk masuk dan mengenai
bilangannya. Tentang meminta izin sampai tiga kali itu diriwayatkan dari
jalan riwayat yang banyak sekali. Menurut sunnah yang dilakukan memberi
salam dahulu kemudian minta izin sambil berdiri di sisi pintu
sekira-kira tidak memandang kepada orang yang berada didalamnya.
Apabila
tidak ada jawaban seorang pun, ia usapkan dua kali sampai tiga kali,
apabila tidak ada jawaban lagi hendaklah ia pulang. Apa yang telah
disebutkan tentang
mendahulukan
salam sebelum minta izin adalah pendapat yang shahih. Sedang al-Mawardi
tentang ini mengemukakan tiga buah pendapat. Pertama sebagaimana di
atas. Kedua, minta izin diucapkan sebelum salam dan pendapat ketiga,
terserah orang yang akan bertamu boleh salma boleh minta izin lebih
dahulu. Jika orang yang akan bertamu melihat shahibul bait (penghuni
rumah) sebelum ia masuk ke rumah itu, maka salam lebih dahulu diucapkan.
Jika ia tidak melihat shahibul bait maka minta izin lebih dahulu
sebelum salam.[6]
Selain
hal minta izin di atas, dalam hadits Rasulullah juga mengajarkan kepada
kita untuk bersikap tegas dengan orang berbeda agama tetapi tidak
berarti berlaku kasar terhadap mereka. Dalam konteks hadits ini yang
dimaksud “kaum wanita kami” yaitu para wanita kafir dzimi yang mereka
tunduk pada penguasa Islam serta membayar pajak.
Adapun
aspek tarbawi lain yang dapat dipetik dari hadits yaitu bahwa sumber
ilmu pengetahuan yang berupa sunnah merupakan sumber ilmu serta sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an.
Dari
uraian di atas, dapat diketahui bahwa titik temu antara isi kandungan
hadits dengan judul makalah terletak pada sumber ilmunya yaitu
Rasulullah, baik yang berupa perintah, larangan, dan tingkah laku yang
dicontohkan beliau kepada umatnya.
PENUTUP
Sumber
ilmu yang berupa sunnah merupakan segala sesuatu yang melekat pada
Rasulullah, baik berupa ucapan, larangan, perintah, perbuatan dan
ketetapannya. Adapun kandungan hadits yang telah diuraikan dalam makalah
ialah meliputi ajaran-ajaran
Rasul untuk meminta izin sebelum memasuki rumah-rumah ahli kitab,
berlaku tegas terhadap orang yang berbeda agama dengan cara yang tidak
menyakiti serta menjadikan sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bugha, Mustafa Dieb dan Muhyidin Mistu.2008.Al Wafi, Syarah Hadits Arbain Imam an Nawawi.Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Arifin, Bey.1992. Tarjamah Sunan Abi Daud. Semarang: CV. Asy Syifa.
Nashif, Mansur Ali.1996.Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah saw, jilid 5.Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Rifa’i, Moh. Tanpa Tahun. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.
Usman, Abdurrahman M.Tanpa tahun. ‘Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Daud juz 8.
Zakaria, Muhyidin Abi dan Yahya Ibnu Shorof an Nawawi.1984. Tarjamah Al Adzkar. Bandung: PT. Al Ma’arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar