Powered By Blogger

Selasa, 13 Maret 2012

M A K A L A H 
SUNNAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I




Oleh:

SITI MASKANAH
NIM. 2021110069

Kelas B

JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan merupakan cahaya bagi orang yang memilikinya, sebab dengan ilmu manusia bisa terlepas dari zaman kebodohan yang dapat menyesatkan. Allah Swt memerintahkan kepada hamba-Nya untuk rajin dalam mencari ilmu pengetahuan. Manusia yang mempunyai ilmu akan dapat memproyeksikan kehidupannya sesuai dengan ilmunya sehingga hidupnya lebih bermakna. Diantara sumber ilmu pengetahuan yang ada dalam ajaran Islam yaitu sunnah, yang merupakan segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya.
Sekiranya Allah tdak mengutus Rasulullah untuk menjadi guru manusia, tentulah masyarakat manusia terus menerus berada dalam kebodohan sepanjang masa. Walaupun akal dan otak manusia mungkin menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya, yaitu hal-hal yang di luar akal manusia.
Di dalam makalah ini penulis akan memaparkan salah satu hadits tentang sumber ilmu pengetahuan yaitu sunnah karena sunnah merupakan informasi yang benar yang bersumber dari Rasulullah. Berikut adalah pemaparan hadits beserta keterangan-keterangannya.



PEMBAHASAN
SUNNAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN

A.    MATERI HADITS
عَنْ اَلْعِرْ بَاضِ بِنْ سَارِيَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ: (نَزَ لْنَا مَعَ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ وَمَعَهُ مَنْ مَعَهُ مِنْ اَصْحَابِهِ وَكَانَ صَاحِبُ خَيْبَرَ رَجُلاً مَارِدًا مَنْكَرًا فَاَقْبَلَ إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا ابْنُ عَوْفٍ اِرْكَيْ قَرَسَكَ ثُمَّ نَادِ أَلاَ إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِمُؤْمِنٍ وَاَنِ اجْتَمِعُوْا لِلصَّلاَةِ قَالَ فَاجْتَمَعُوْا ثُمَّ صَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ فَقَالَ أَيَحْسَبُ اَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ قَدْ يَظُنُّ أَنَّ الله َ لَمْ يُحِرِّمْ شَيْئًا اِلاَّ مَافِي هَذَا الْقُرْآنِ. أّلاَ وَإِنِّى وَاللهِ قَدْ وَعَظْتُ وَاَمَرْتُ وَنَهَيْتُ عَنْ اَشْيَاءَ إِنَّهَا لَمِثْلُ الْقُرْآنِ أَوْ اَكْثَرُ وَاِنَّ الله َ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَحِلَّ لَكُمْ أَنْ تَدْ خُلُوْا بُيُوْتَ أَهْلِ الْكِتَابِ اِلاَّ بِاذْتٍ وَلاَ ضَرْبَ نِسَائِهِمْ وَلاَ أَكَلَ ثِمَأرِهِمْ اِذَا اَعْطَوْكُمْ الَّذِيْ عَلَيْهِمْ)
(رواه أبو داود فى السنن, كتاب الخراج والإمارة والفيء, باب في تعشير أهل الذمه اذا اختلفوا با التجارات)
B.     TARJAMAH HADITS
Dari ‘Irbadh bin Sariyah as-Sulami ra, dia berkata : kami pergi ke Khaibar. Beliau disertai sahabat yang menyertainya. Pemilik tanah Khaibar adalah seorang laki-laki durhaka lagi melampaui batas. Dia datang menghadap Nabi Saw berkata: “Wahai Muhammad, apakah kalian hendak menyembelih keledai-keledai kami, memakan buah-buah kami dan memukuli kaum wanita kami?” mendengar hal itu Nabi Saw marah dan bersabda: “Wahai Ibnu Auf naikilah kudamu lalu bersabda: Sesungguhnya surga tidak halal, kecuali untuk orang mukmin. Dan hendaklah kamu berkumpul untuk sholat!” kata irbadh: maka mereka berkumpul, kemudian Nabi Saw mengerjakan sholat bersama mereka, lalu berdiri, setelah itu beliau bersabda: “Apakah seseorang diantara kamu mengira seraya duduk-duduk di atas singgasananya lalu ia menduga, bahwa Allah tidak pernah mengharamkan sesuatu kecuali yang terdapat di dalam Al-Qur’an ini? Ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku telah memeintahkan dan memberi peringatan, dan aku melarang beberapa perkara! Sesungguhnya Allah A.W.J. belum pernah menghalalkan untuk kamu memasuki rumah-rumah ahlul kitab, kecuali dengan meminta izin. Tidak pula memukul kaum wanita mereka, dan tidak pula memakan buah-buahan mereka, apabila mereka telah memberi kewajiban mereka kepadamu (berupa upeti)”[1]

C.    MUFRADAT (KATA-KATA PENTING)
Orang yang durhaka lagi melampaui batas            : مَارِدًا
Keledai-keledai milik kami                                    : حُمُرَنَا
Diatas pelaminannya (singgasananya) yang           : أَرِيْكَتِهِ
Dihiasi dengan berbagai macam perhiasan.[2]

D.    BIOGRAFI PERAWI HADITS
Abu Tujaih al-Irbadh lain sariyah adalah sahabat dari kalangan ahli shuffah. Beliau adalah sahabat yang sering menangis yang menginginkan untuk berjihad dan berparang bersama Rasulullah dalam prang Tabuk, perang yang sangat sulit. Rasulullah tidak memiliki perbekalan untuk memberangkatkannya, maka mereka keluar sambil menangis. Al-Irbadh generasi terdahulu dari orang yang masuk Islam. Dia berkata bahwa dia orang ke empat yang masuk Islam. Beliau pernah singgah di Syam lalu tinggal di Himsh dan meninggal di sana pada tahun 75 H dalam usia 70 tahun.[3]

E.     KETERANGAN HADITS (SEJARAH HADITS)
(اِبْنَ عُمَيْرِ) dibaca dhummah ainnya dengan dikecilkan (رَجُلاً مَارِدًا) maksudnya orang yang durhaka (حُمُرَنَا) dengan dibaca dhomah huruf kha dan mimnya. Lafadz حُمُرَنَا adalah bentuk jamak dari mufrod حِمَارٍ . (وَاَنِ اجْتَمِعُوْا) dengan kalimat perintah (مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ) di sebagian redaksi memakai “diatas kasurnya” dengan dimudhofkan kepada dhomir maksudnya di atas kasur, lafadz isyarat nabi terhadap lafadz مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ ialah tempat timbulnya kebodohan dan enggannya terhadap sunah-sunah atau hadits. Penjelasan di atas sebagaimana tertera dalam kitab tafju wadud. Imam Al-Qori berkata lafadz  عَلَى أَرِيْكَتِهِ maksudnya bersandar di atas kasur yang berhiaskan dengan intan. Permata, pakaian-pakaian yang ada dalam rumah. Maksudnya orang-orang yang selalu di dalam rumah dan enggan untuk mencari ilmu. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang sombong yang sedikit perhatiannya terhadap urusan agama sudah selesai (أّلاَ) kalimat untuk memperingatkan (وَإِنِّى) wawunya berfidah khal (عَنْ اَشْيَاءَ) berhubungan dengan larangan saja hubungan lafadz اَلْوَعْظِ  dan اَلاَمْرِ  yaitu dibuang maksudnya lafadz بِأَشْيَاءِ . (اِنَّهَا) maksudnya sesuatu yang diperintah dan dilarang atas lisanku (nabi) yang wahyu yang samar. Sebagaimana Allah berfirman (Dan setiap sesuatu yang Nabi Muhammad ucapkan itu jauh dari hawa nafsu dan melainkan sesuatu itu ialah wahyu yang diwahyukan kepadanya) (لِمَثْلُ الْقُرْآنِ), maksudnya dalam ukurannya (اَوْ اَكْثَرُ) maksudnya bahkan lebih banyak.
اَلْمُظَهَرْ  berkata atau perkataan lebih banyak itu bukan suatu kergauan bahkan sesungguhnya Nabi Muhammad selalu bertambah ilmunya setelah meneirma ilham dari Allah dan terbukanya sesuatu yang tertutup sedikit demi sedikit, maka dibuka untuk Nabi sesuatu yang diberikan padanya pada hukum-hukum selain Al-Qur’an lalu dibuka baginya dengan tambahan-tambahan dengan bersambung dengannya. Penjelasan ini telah diterangkan oleh Imam Al-abhari dan didalamnya terdapat perenungan sebagaimana dalam kitan Al-Mirqoh milik Imam A-Qori’, (لَمْ يَحِلَّ) dari hal-hal yang dihalalkan (بُيُاتَ اَهْلِ الْكِتَابِ) yaitu ahli dhimmah atau kafir dhimmi yang menyerahkan atau membayar pajak (إِلاَّ بِإِذْنِ) maksudnya kecuali mereka memberikan izin kepada mereka semua dengan kasih (إِذَا اَعْطُوْ كُمْ الَّذِى عَلَيْهِمْ) maksudnya pajak.
Hasil dari penjelasan hadits ini adalah tidak adanya pertentangan kepada mereka (ahli dhimmah) dengan menyakitinya di dalam rumahnya dan keluarganya juga hartanya hal tersebut apabila mereka membayar pajak, dan apabila mereka membangkang terhadap pajak tersebut maka batallah tanggungannya dan halal darah, hartanya, juga perempuan-perempuannya dan jadilah mereka seperti kafir harbi yang harus diperangi, penjelasan ini menurut Qori yang shahih dan telah dijelaskan juga oleh Ibnu Mulki.[4]

F.     ASPEK TARBAWI
Berdasarkan pada uraian-uraian di atas, kita dapat mengambil beberapa aspek tarbawi yang terkandung dalam hadits tersebut. Diantaranya yaitu Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk meminta izin ketika kita akan memasuki rumah orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 27-28:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ   bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB !$ygŠÏù #Yymr& Ÿxsù $ydqè=äzôs? 4Ó®Lym šcsŒ÷sムö/ä3s9 ( bÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö$# (#qãèÅ_ö$$sù ( uqèd 4s1ør& öNä3s9 4 ª!$#ur $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perihal meminta izin ketika akan memasuki rumah orang lain ini berkaitan dengan adab, yaitu perbuatan apa pun yang terpuji, baik berupa perkataan maupun pekerjaan. Suatu pendapat mengatakan bahwa adab artinya memakai akhlak-akhlak yang mulia. Menurut pendapat yang lainnya adab ialah menghormati orang yang lebih tinggi darimu dan belas kasihan kepada orang yang lebih bawah darimu. Menurut pendapat yang lainnya lagi adab ialah menetapi perbuatan-perbuatan yang baik. Pengertian semuanya berdekatan.[5]
Pasal ini menerangkan tentang meminta izin untuk masuk dan mengenai bilangannya. Tentang meminta izin sampai tiga kali itu diriwayatkan dari jalan riwayat yang banyak sekali. Menurut sunnah yang dilakukan memberi salam dahulu kemudian minta izin sambil berdiri di sisi pintu sekira-kira tidak memandang kepada orang yang berada didalamnya.
Apabila tidak ada jawaban seorang pun, ia usapkan dua kali sampai tiga kali, apabila tidak ada jawaban lagi hendaklah ia pulang. Apa yang telah disebutkan tentang
 mendahulukan salam sebelum minta izin adalah pendapat yang shahih. Sedang al-Mawardi tentang ini mengemukakan tiga buah pendapat. Pertama sebagaimana di atas. Kedua, minta izin diucapkan sebelum salam dan pendapat ketiga, terserah orang yang akan bertamu boleh salma boleh minta izin lebih dahulu. Jika orang yang akan bertamu melihat shahibul bait (penghuni rumah) sebelum ia masuk ke rumah itu, maka salam lebih dahulu diucapkan. Jika ia tidak melihat shahibul bait maka minta izin lebih dahulu sebelum salam.[6]
Selain hal minta izin di atas, dalam hadits Rasulullah juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap tegas dengan orang berbeda agama tetapi tidak berarti berlaku kasar terhadap mereka. Dalam konteks hadits ini yang dimaksud “kaum wanita kami” yaitu para wanita kafir dzimi yang mereka tunduk pada penguasa Islam serta membayar pajak.
Adapun aspek tarbawi lain yang dapat dipetik dari hadits yaitu bahwa sumber ilmu pengetahuan yang berupa sunnah merupakan sumber ilmu serta sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa titik temu antara isi kandungan hadits dengan judul makalah terletak pada sumber ilmunya yaitu Rasulullah, baik yang berupa perintah, larangan, dan tingkah laku yang dicontohkan beliau kepada umatnya.



PENUTUP

Sumber ilmu yang berupa sunnah merupakan segala sesuatu yang melekat pada Rasulullah, baik berupa ucapan, larangan, perintah, perbuatan dan ketetapannya. Adapun kandungan hadits yang telah diuraikan dalam makalah  ialah meliputi ajaran-ajaran Rasul untuk meminta izin sebelum memasuki rumah-rumah ahli kitab, berlaku tegas terhadap orang yang berbeda agama dengan cara yang tidak menyakiti serta menjadikan sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.






















DAFTAR PUSTAKA

Al Bugha, Mustafa Dieb dan Muhyidin Mistu.2008.Al Wafi, Syarah Hadits Arbain Imam an Nawawi.Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Arifin, Bey.1992. Tarjamah Sunan Abi Daud. Semarang: CV. Asy Syifa.
Nashif, Mansur Ali.1996.Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah saw, jilid 5.Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Rifa’i, Moh. Tanpa Tahun. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.
Usman, Abdurrahman M.Tanpa tahun. ‘Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Daud juz 8.
Zakaria, Muhyidin Abi dan Yahya Ibnu Shorof an Nawawi.1984. Tarjamah Al Adzkar. Bandung: PT. Al Ma’arif.



[1]  Bey Arifin, Tarjamah Sunan Abui Daud (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), hlm. 673-675
[2]  Mansyur Ali Mashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah Saw, 1996), Jilid 5, hlm. 714
[3]  Musthofa Dieb Al-Bugha dan Syaikh Muhyiddin MIstu, Al-Wafi, Syara Hadits Arba’in Imam An-Nawawi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 472
[4]  Abdur Rahman M.Usman, Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud Juz. VIII, hlm. 302-303
[5]  Manshur Ali Nashif, op.cit., hlm. 705
[6]  Muhyidin Abi Zakaria dan Yahya Ibnu Shorof An-Nawawi, Tarjamah Al-Adzkar (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984), hlm. 628-629

Tidak ada komentar:

Posting Komentar