MAKALAH
AL – QURAN, SUNNAH dan TANTANGAN PEMIKIRAN MODERN PENAFSIRAN dan PEMAHAMAN KELIRU
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata kuliah : Hadits Tarbawi II
Dosen pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I
Disusun oleh :
DEWI FANTIHANA
202110071
Kelas : B
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Secara
tekstual hadits bisa berarti jelas, nyata, terang dan meberi
penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan al – quran tafsir diartikan
sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh atau ayat al
–quran.
Al
–quran sebagai petunjuk dalam mengikiti doktrin islam, harus diyakini (
kebenarannya ), dipahami ( isinya ), dan diamalkan ( ajarannya ).
Tidak
semua penafsiran Nabi saw tentang ayat – ayat al – quran dapat
diketahui, mungkin karena penulisan hadits yang jauh setelah Nabi saw
meninggal dunia atau karena memang Nabi saw tidak menjelaskan seluruh
isi Al – quran. Sehingga para pakar tafsir sepakat untuk menjadikan
setiap hasil penafsiran bersifat zhanni ad- dilalah. Yakni penafsiran
memiliki kebenaran yang relatif lebih besar dengan tetap memegang asumsi
tentang masih adanya kekeliruan yang mungkin saja terjadi akibat
keterbatasan wawasan sang mufassir.
Dalam
makalah ini akan dijelaskan salah satu hadits tentang penafsiran dan
pemahaman keliru al – quran, sunnah. Agar tidak terjadi banyak
penyimpangan dalam penafsiran al – quran dan sunnah.
PEMBAHASAN
HADITS NO. 27
PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN KELIRU
A. MATERI HADITS
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَذَرِي قَالَ قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ
يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ
الْمُبْطِلِيْنَ وَتَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ)
(رواه البيهقى فى السنن الكبرى)
B. TERJEMAHAN
Dari
Abdirrahman al – aszari berkata, Rasulullah saw bersabda : akan
mewarisi ilmu ini dari setiap generasi, orang – orang yang terpercaya
dari padanya. Mereka itu melakukan upaya membantah segala penafsiran
orang – orang bodoh, dan kebohongan orang – orang sesat, serta mambantah
penyimpangan orang – orang yang melampaui batas. ( HR.. Baihaqi ).[1]
C. MUFRODAT
- Orang – orang bodoh : الْجَاهِلِيْنَ - Mewarisi : يَرِثُ
- Kebohongan : وَانْتِحَالَ - ilmu : الْعِلْمَ
- Orang – orang sesat : الْمُبْطِلِيْنَ - ganerasi : خَلَفٍ
- Penyimpangan / membantah : وَتَحْرِيْفَ - terpercaya : عُدُوْلُهُ
- Orang – orang yang : الْغَالِيْنَ - membantah : يَنْفَوْنَ
melampaui batas - Penafsiran : تَأْوِيْلَ
D. BIOGRAFI PERAWI HADITS
Abdirrahman
al – adzari adalah ayah dari ibrahim yang termasuk golongan dari
tabi’in yang menyendiri ( terakhir ) saya ( mualik ) tidak melihat
beliau seorang yang lemah. Beliau memursalkan hadits yang berbunyi :
يجمل هذا العلم من كل خلق عدوله
“Akan
membawa ilmu ini dari setiap orang akhir zaman “ tidak hanya satu orang
yang meriwayatkan hadits tersebut diantaranya mu’an ibn Rifa’ah. Dan
tidaklah tergolong utama, apalagi saya tidak melihat atau mengetahui
sebagian dari mereka.[2]
E. HADITS PENDUKUNG
مَنْ
يُرِدِ الله ُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَإِنَّمَا أَنَا
قَاسِمٌ وَالله ُ يُعْطِيْ وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ اْلأُمَّةُ قَائِمَةً
عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ فَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ
أَمْرُ اللهِ (رواه اْلاَرْبَعَةُ)
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Dia memberikannya
pengertian dalam masalah agama. Sesungguhnya aku hanyalah orang yang
membagi dan Allah-lah yang memberi. Umat ini masih tetap akan menegakkan
perintah Alah, tiada yang dapat menimpakan kemudaratan (bahaya) kepada
mereka, ornag-orang yang menentang-Nya hingga perintah Allah datang.
(HR. Arba’ah)
Keterangan:
Sesungguhnya aku hanyalah ornag yang membagikan syariat diantara kalian, dan aku
menjelaskan syariat itu kepada kalian tanpa pengecualian. Dan Allahlah
yang memberikan pemahaman kepada setiap orang dari kalian sebagaimana
yang dikehendakinya. Perbedaan pemahaman berasal dari pemberian Allah
Swt. Disebutkan bahwa sebagian sahabat mendengar hadits langsung dari
nabi Saw, tetapi ia tidak dapat memahaminya kecuali hanya makna
lahiriahnya saja, sedangkan sebagian yang lain mendengarkan hadits dari
mereka (para sahabat), atau dari orang-orang yang sesudah mereka,
sekalipun demikian ia dapat menyimpulkan banyak hukum dari hadits
tersebut, sehubungan dengan hal ini Allah Swt telah berfirman:
’ÎA÷sムspyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o„ 4 `tBur |N÷sムspyJò6Åsø9$# ô‰s)sù u’ÎAré& #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 3 $tBur ãž2¤‹tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#
Allah
menganugerahkan Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah: 269)
Yang dimaksud dengan umat ini ialah sebagian dari mereka, mereka adalah golongan ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.[3]
F. ASPEK TARBAWI
Dari
hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw mewariskan
ilmunya kepada orang – orang terpercaya seperti para sahabat, tabi’in
dan lain-lain.
Tetapi ada yang menyalahgunakan penafsiran itu sehingga mengakibatkan
orang – orang bodoh, orang – orang yang bathil dan orang – orang yang
berlebih – lebihan.
Penafsiran
terhadap al –quran pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena
hanya Nabi – lah yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu, akan
tetapi karena Nabi saw tidak menjelaskan seluruh ayat yang ada dalam al
–quran, maka setelah Nabi saw meninggal. Para sahabat memahami al –
quran dengan cara bertanya pada para sahabat yang terkenal sebagai ahli
tafsir. Artinya pada masa sahabat ini sudah ada penafsiran al –quran
sekalipun masih berdifat riwayat, yakni belum dikodifikasi atau tertulis
dalam sebuah kitab tafsir.
Dalam
menafsiran al – quran dan hadits masih banyak para mufassir yang kurang
memahami makna dari al – quran dan hadits tersebut seperti al – quran
itu menggunakan bahasa arab tidak jarang kata yang dipergunakan al
–quran berbeda dengan makna yang dipahami bangsa arab ketika itu,
misalnya kata “ shalat “ yang menurut orang arab adalah do’a, oleh al
–quran dimaknai sebagai ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sebab
itulah, maka sekalipun para sahabat adalah orang arab, maka masih
memerlukan penjelasan secara langsung dari Nabi saw sebagai pemegang
otoritas pertama dalam menafsirkan al –quran,. Berbalik dari realitas al
– quran, hadits yang realitasnya menggunakan bahasa nabi saw ( Arab ),
menurut pandangan mayoritas – mayoritas ulama secara teologis diyakini
sebagai bahasa Tuhan yang termetaforkan dalam bahada Nabi saw. Bahkan,
kosa kata yang dipergunakan hadits cenderung mengikuti perkembangan
makna yang di maksudkan al – quran, seperti hadits yang menjelaskan arti
kata “ al – kautsar” dalan surah al –kautsar (108) : 1.orang – orang
arab menggunakan Al – kautsar untuk menamai segala sesuatu yang
banyak bilangannya atau tinggi nilainya, nahkan orang yang mempunyai
jasa yang banyak terhadap masyarakat disebut dengan Al – kautsar. Akan
tetapi, Nabi saw menjelaskan bahwa maksud al – kautsar dalam surat al –
kautsar ( 108 ) : 1 tersebut adalah sebuah sungai yang diberikan oleh
Allah SWT. Kepada beliau dalam pengertian ini arti al – kautsar yang
diberikan Nabi saw berbeda dengan pengertian yang dipahami orang Aeab
ketika itu dan menyesuaiakan dengan makna yang dikehendaki al – quran.[4]
Semua
corak penafsiran yang berkembang pada masa ini mengganakan metode
tahlil, yakni penafsiran ayat – ayat al –quran sesuai dengan urutan
mushaf. Tujuan penafsiran al – quran bukan hanya sekedar mengucap makna,
tetapi bagaimana ia mampu menjadi petunjuk dan menjadi pedoman hidup
bagi menusia.
Agar
tidak terjadi adanya kekeliruan dalam penafsiran, maka bagi setiap
mufassir dituntut berpegang pada adab atau etika persyaratan dalam
penafsiran al – quran.
· Adab atau etika penafsiran Al –quran :
1) Memiliki niat dan perilaku yang baik.
2) Berperilaku jujur.
3) Bersikap independen.
4) Mempersiapkan dan menempuh langkah – langkah penafsiran secara sistematis, baik dan benar.
· Persyaratan dalam penafsiran Al –quran :
1) Meyakini kebenaran teks Al –quranyang sedang ditafsirkannya dan terlepas dari keinginan subjektiivitas pribadi atau golongan.
2) Mendahulukan
penafsiran bi al – matsur, yaitu menafsirkan Al –quran dengan ra’yu
yang didasari oleh dalil Al quran hadits ( sunnah Nabi ), pendapat
sahabat, dan pendapat tabi’in.
3) Memiliki kapabilitas keilmuan yang memadai.[5]
PENUTUP
Penafsiran
Terhadap Al –quran pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena
hanya Nabi – lah yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu, akan
tetapi Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat yang ada dalam Al – quran.
Sehingga setelah Nabi meninggal para sahabat dalam memahami Al -0quran
dengan cara bertanya dengan ahli tafsir.
Agar
tidak terjadi adanya kekeliruan dalam penafsiran, maka bagi setipa
mufassir dituntut berpegang pada adab atau etika pesyaratan dalam
menafsirkan Al –quran.
DAFTAR PUSTAKA
http/ermansyah. Swaramuslim.net /diary 5. Htm.
Muhammad, Al – Imam Hafidz Syamsuddin bin Ahmad Adh Dhihahi. 1995. Mizanul ‘Itidal. Juz awal. Bairut Lebanon : Dai al-Kotob al-Ilmiyah.
Ali Nashif, Syekh Manshur. 1993. Mahkota Pokok-pokok Hadits Tasulullah Saw, Jilid I. Bandung: CV. Sinar Baru.
Zenrif. M.F. 2006. Sintesis Peradigma Studi Al –Quran. Malang: Malang Press.
Rasadisastra, Andi. 2007. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta : Amzah.
[1] http/ermansyah. Swaramuslim.net /diary 5. Htm.
[2]
AL – Imam Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adh Dhihahi.. Mizanul
‘itidal. Juz awal. ( Bairut lebanon : Dai al – kotob al – ilmiyah, 1995 )
Hlm. 166 - 167
[3] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Tasulullah Saw, Jilid I (Bandung: CV. Sinar Baru, 1993), hlm. 140-141
[4] M.F. Zenrif. Sintesis . Peradigma Studi Al –quran.( Malang : Malang Press : 2008 ), hal. 24 – 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar