Powered By Blogger

Selasa, 13 Maret 2012

MAKALAH
AL – QURAN, SUNNAH dan TANTANGAN PEMIKIRAN MODERN PENAFSIRAN dan PEMAHAMAN KELIRU

Disusun guna memenuhi tugas :
Mata kuliah                  : Hadits Tarbawi II
Dosen pengampu         : Muhammad Hufron, M.S.I



Disusun oleh :
DEWI FANTIHANA
202110071
Kelas : B



JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Secara tekstual hadits bisa berarti jelas, nyata, terang dan meberi penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan al – quran tafsir diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh atau ayat al –quran.
Al –quran sebagai petunjuk dalam mengikiti doktrin islam, harus diyakini ( kebenarannya ), dipahami ( isinya ), dan diamalkan ( ajarannya ).
Tidak semua penafsiran Nabi saw tentang ayat – ayat al – quran dapat diketahui, mungkin karena penulisan hadits yang jauh setelah Nabi saw meninggal dunia atau karena memang Nabi saw tidak menjelaskan seluruh isi Al – quran. Sehingga para pakar tafsir sepakat untuk menjadikan setiap hasil penafsiran bersifat zhanni ad- dilalah. Yakni penafsiran memiliki kebenaran yang relatif lebih besar dengan tetap memegang asumsi tentang masih adanya kekeliruan yang mungkin saja terjadi akibat keterbatasan wawasan sang mufassir.
Dalam makalah ini akan dijelaskan salah satu hadits tentang penafsiran dan pemahaman keliru al – quran, sunnah. Agar tidak terjadi banyak penyimpangan dalam penafsiran al – quran dan sunnah.








PEMBAHASAN
HADITS NO. 27
PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN KELIRU

A.    MATERI HADITS
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَذَرِي قَالَ قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ)
(رواه البيهقى فى السنن الكبرى)

B.     TERJEMAHAN
Dari Abdirrahman al – aszari berkata, Rasulullah saw bersabda : akan mewarisi ilmu ini dari setiap generasi, orang – orang yang terpercaya dari padanya. Mereka itu melakukan upaya membantah segala penafsiran orang – orang bodoh, dan kebohongan orang – orang sesat, serta mambantah penyimpangan orang – orang yang melampaui batas. ( HR.. Baihaqi ).[1]

C.    MUFRODAT
-       Orang – orang bodoh : الْجَاهِلِيْنَ                  - Mewarisi            : يَرِثُ
-       Kebohongan               :  وَانْتِحَالَ                 - ilmu                   : الْعِلْمَ        
-       Orang – orang sesat    : الْمُبْطِلِيْنَ                  - ganerasi             :  خَلَفٍ
-       Penyimpangan / membantah : وَتَحْرِيْفَ         - terpercaya          : عُدُوْلُهُ
-       Orang – orang yang    : الْغَالِيْنَ                     - membantah        : يَنْفَوْنَ
     melampaui batas                                         - Penafsiran          : تَأْوِيْلَ
D.    BIOGRAFI PERAWI HADITS
Abdirrahman al – adzari adalah ayah dari ibrahim yang termasuk golongan dari tabi’in yang menyendiri ( terakhir ) saya ( mualik ) tidak melihat beliau seorang yang lemah. Beliau memursalkan hadits yang berbunyi :
يجمل هذا العلم من كل خلق عدوله
“Akan membawa ilmu ini dari setiap orang akhir zaman “ tidak hanya satu orang yang meriwayatkan hadits tersebut diantaranya mu’an ibn Rifa’ah. Dan tidaklah tergolong utama, apalagi saya tidak melihat atau mengetahui sebagian dari mereka.[2]

E.     HADITS PENDUKUNG
 مَنْ يُرِدِ الله ُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَالله ُ يُعْطِيْ وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ اْلأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ فَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ (رواه اْلاَرْبَعَةُ)
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Dia memberikannya pengertian dalam masalah agama. Sesungguhnya aku hanyalah orang yang membagi dan Allah-lah yang memberi. Umat ini masih tetap akan menegakkan perintah Alah, tiada yang dapat menimpakan kemudaratan (bahaya) kepada mereka, ornag-orang yang menentang-Nya hingga perintah Allah datang. (HR. Arba’ah)
Keterangan:
Sesungguhnya aku hanyalah ornag yang membagikan syariat diantara kalian, dan aku menjelaskan syariat itu kepada kalian tanpa pengecualian. Dan Allahlah yang memberikan pemahaman kepada setiap orang dari kalian sebagaimana yang dikehendakinya. Perbedaan pemahaman berasal dari pemberian Allah Swt. Disebutkan bahwa sebagian sahabat mendengar hadits langsung dari nabi Saw, tetapi ia tidak dapat memahaminya kecuali hanya makna lahiriahnya saja, sedangkan sebagian yang lain mendengarkan hadits dari mereka (para sahabat), atau dari orang-orang yang sesudah mereka, sekalipun demikian ia dapat menyimpulkan banyak hukum dari hadits tersebut, sehubungan dengan hal ini Allah Swt telah berfirman:
ÎA÷sムspyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4 `tBur |N÷sムspyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 3 $tBur ㍞2¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#  
Allah menganugerahkan Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah: 269)

Yang dimaksud dengan umat ini ialah sebagian dari mereka, mereka adalah golongan ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.[3]

F.     ASPEK TARBAWI
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw mewariskan ilmunya kepada orang – orang terpercaya seperti para sahabat, tabi’in dan lain-lain. Tetapi ada yang menyalahgunakan penafsiran itu sehingga mengakibatkan orang – orang bodoh, orang – orang yang bathil dan orang – orang yang berlebih – lebihan.
Penafsiran terhadap al –quran pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena hanya Nabi – lah yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu, akan tetapi karena Nabi saw tidak menjelaskan seluruh ayat yang ada dalam al –quran, maka setelah Nabi saw meninggal. Para sahabat memahami al – quran dengan cara bertanya pada para sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir. Artinya pada masa sahabat ini sudah ada penafsiran al –quran sekalipun masih berdifat riwayat, yakni belum dikodifikasi atau tertulis dalam sebuah kitab tafsir.
Dalam menafsiran al – quran dan hadits masih banyak para mufassir yang kurang memahami makna dari al – quran dan hadits tersebut seperti al – quran itu menggunakan bahasa arab tidak jarang kata yang dipergunakan al –quran berbeda dengan makna yang dipahami bangsa arab ketika itu, misalnya kata “ shalat “ yang menurut orang arab adalah do’a, oleh al –quran dimaknai sebagai ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sebab itulah, maka sekalipun para sahabat adalah orang arab, maka masih memerlukan penjelasan secara langsung dari Nabi saw sebagai pemegang otoritas pertama dalam menafsirkan al –quran,. Berbalik dari realitas al – quran, hadits yang realitasnya menggunakan bahasa nabi saw ( Arab ), menurut pandangan mayoritas – mayoritas ulama secara teologis diyakini sebagai bahasa Tuhan yang termetaforkan dalam bahada Nabi saw. Bahkan, kosa kata yang dipergunakan hadits cenderung mengikuti perkembangan makna yang di maksudkan al – quran, seperti hadits yang menjelaskan arti kata “ al – kautsar” dalan surah al –kautsar (108) : 1.orang – orang arab menggunakan Al – kautsar untuk menamai segala sesuatu yang banyak bilangannya atau tinggi nilainya, nahkan orang yang mempunyai jasa yang banyak terhadap masyarakat disebut dengan Al – kautsar. Akan tetapi, Nabi saw menjelaskan bahwa maksud al – kautsar dalam surat al – kautsar ( 108 ) : 1 tersebut adalah sebuah sungai yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada beliau dalam pengertian ini arti al – kautsar yang diberikan Nabi saw berbeda dengan pengertian yang dipahami orang Aeab ketika itu dan menyesuaiakan dengan makna yang dikehendaki al – quran.[4]
Semua corak penafsiran yang berkembang pada masa ini mengganakan metode tahlil, yakni penafsiran ayat – ayat al –quran sesuai dengan urutan mushaf. Tujuan penafsiran al – quran bukan hanya sekedar mengucap makna, tetapi bagaimana ia mampu menjadi petunjuk dan menjadi pedoman hidup bagi menusia.
Agar tidak terjadi adanya kekeliruan dalam penafsiran, maka bagi setiap mufassir dituntut berpegang pada adab atau etika persyaratan dalam penafsiran al – quran.
·         Adab atau etika penafsiran Al –quran :
1)      Memiliki niat dan perilaku yang baik.
2)      Berperilaku jujur.
3)      Bersikap independen.
4)      Mempersiapkan dan menempuh langkah – langkah penafsiran secara sistematis, baik dan benar.
·         Persyaratan dalam penafsiran Al –quran :
1)      Meyakini kebenaran teks Al –quranyang sedang ditafsirkannya dan terlepas dari keinginan subjektiivitas pribadi atau golongan.
2)      Mendahulukan penafsiran bi al – matsur, yaitu menafsirkan Al –quran dengan ra’yu yang didasari oleh dalil Al quran hadits ( sunnah Nabi ), pendapat sahabat, dan pendapat tabi’in.
3)      Memiliki kapabilitas keilmuan yang memadai.[5]







PENUTUP

Penafsiran Terhadap Al –quran pada dasarnya merupakan otoritas Nabi saw karena hanya Nabi – lah yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu, akan tetapi Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat yang ada dalam Al – quran. Sehingga setelah Nabi meninggal para sahabat dalam memahami Al -0quran dengan cara bertanya dengan ahli tafsir.
Agar tidak terjadi adanya kekeliruan dalam penafsiran, maka bagi setipa mufassir dituntut berpegang pada adab atau etika pesyaratan dalam menafsirkan Al –quran.




















DAFTAR PUSTAKA

http/ermansyah. Swaramuslim.net /diary 5. Htm.

Muhammad, Al – Imam Hafidz Syamsuddin bin Ahmad Adh Dhihahi. 1995. Mizanul ‘Itidal. Juz awal. Bairut Lebanon : Dai al-Kotob al-Ilmiyah.

Ali Nashif, Syekh Manshur. 1993. Mahkota Pokok-pokok Hadits Tasulullah Saw, Jilid I. Bandung: CV. Sinar Baru.

Zenrif. M.F. 2006. Sintesis Peradigma Studi Al –Quran. Malang: Malang Press.

Rasadisastra, Andi. 2007. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta : Amzah.






















[1] http/ermansyah. Swaramuslim.net /diary 5. Htm.
[2] AL – Imam Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adh Dhihahi.. Mizanul ‘itidal. Juz awal. ( Bairut lebanon : Dai al – kotob al – ilmiyah, 1995 ) Hlm. 166 - 167
[3] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Tasulullah Saw, Jilid I (Bandung: CV. Sinar Baru, 1993), hlm. 140-141
[4] M.F. Zenrif. Sintesis . Peradigma Studi Al –quran.( Malang : Malang Press : 2008 ), hal. 24 – 26.
[5] Andi Rasadisastra. Metode Tafsir Ayat – ayat Sains danb Sosial. Jakarta : Amzah, ,. 2007) hal. 49 -43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar